Memori Kelam 65-66 Era Komunis PKI.

0

Paham komunisme di Indonesia pada awalnya dibawa tokoh komunis Belanda , Sneevliet. Partai Komunis Indonesia (PKI) memberontak pertama kali melawan pemerintah kolonial Belanda tahun 1926. Kemudian memberontak di Tegal, Brebes, dan Pemalang tanggal 11 Desember 1945, dan di Madiun  tanggal 18 September 1948.

Dari tiga kali pemberontakan tersebut menunjukkan kecintaan sesungguhnya PKI terhadap negara dan bangsa Indonesia. Tetapi karena rakyat Indonesia tengah sibuk menghadapi kembalinya Belanda ke Indonesia melalui Nederland Indische Civil Administration (NICA), maka pemerintah dan rakyat Indonesia cepat sekali memaafkan dan melupakan kesalahan PKI.
    
Sehingga PKI berkembang dengan cepat. Hasil kerja keras PKI tampak dalam hasil pilihan raya (pemilihan umum) tahun 1955, di mana PKI  muncul sebagai kekuatan keempat terbesar setelah Partai Nasional Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), dan Nahdlatul Ulama (NU).

Berdirinya Organisasi-Organisasi Mahasiswa di Indonesia    
Sejak Indonesia merdeka, muncul kebutuhan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, di antaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang dibentuk melalui kongres mahasiswa pertama di Malang tahun 1947.     

Pada masa demokrasi liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, oganisasi mahasiswa extra kampus sebagian besar merupakan organisasi  di bawah partai-partai politik. Misalnya Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) dengan Partai Katholik, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GEMSOS) dengan Partai Sosial Indonesia (PSI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dengan Nahdlatul Ulama, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.    

CGMI paling menonjol tampil sebagai salah satu anak partai kuat hasil pemilihan umum tahun 1955. CGMI berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi-organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, hal ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI , terutama dipicu karena banyak jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki CGMI dan GMNI khususnya setelah Kongres V tahun 1961. Lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)    
Pada tanggal 5 Februari 1947 beberapa orang mahasiswa Sekolah Tinggi  Islam (STI) , Lafran Pane (pemrakarsa), Karnoto Zarkasyi, Siti Zaenab, M. Anwar, Hasan Basri, Zulkarnaen, Tayeb Razak, Toha Mashudi, dan Bidron Hadi, yang hadir dalam rapat pertama, mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).   
 
Latar Belakang berdirinya HMI, karena organisasi mahasiswa yang telah ada, yaitu Perhimpunan Mahasiswa Yogya (PMY) masih bersifat kedaerahan, berbau feodalisme, dan sangat kebarat-baratan. Sehingga aspirasi keislaman tidak tersalurkan melalui PMY. Kondisi ummat Islam saat itu sangat memprihatinkan, terbelakang, dan jumud, kondisi perguruan tinggi terlalu berat kepada hal-hal duniawi dan pendidikan umum, meninggalkan ukhrawiyah dan pendidikan agama.

Secara institusional Jong Islamieten Bond, satu-satunya wadah perjuangan Angkatan Muda Islam sudah lama tidak aktif. HMI berharap dapat melanjutkan perjuangan Jong Islamieten Bond. Secara institusional HMI melengkapi organisasinya dengan Korp Alumni HMI (KAHMI) yang berisi seluruh alumni atau mantan pengurus dan anggota HMI, Korp HMI-wati (KOHATI) yang beranggotakan para mahasiswi atau putrid HMI, Lembaga Petanian Mahasiswa Islam (LPMI), Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI), Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LPMI), Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam (LAPEN MI), Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI). Secara struktural, HMI berstruktur mulai dari tingkat nasional atau pusat (Pengurus Besar), tingkat propinsi atau gabungan beberapa propinsi (Pengurus Badan Koordinator/Badko), tingkat kabupaten atau Kota (Pengurus Cabang), tingkat Perguruan Tinggi (Pengurus Koordinator Komisariat/Korkom), tingkat Fakultas atau Akademi (Pengurus Komisariat), dan tingkat daerah kecil (Pengurus Rayon).  Independensi HMI dapat bersifat positif karena HMI merasa sebagai anak kandung ummat Islam secara menyeluruh, bukan hanya anak kandung organisasi atau kekuatan Islam tertentu. Tetapi independensi itu juga bisa bersifat negatif, karena tidak ada partai atau organisasi kekuatan Islam yang sungguh merasa "sayang" kepada HMI, karena masing-masing organisasi telah mempunyai sayap organisasi mahasiswa sendiri, seperti NU mempunyai PMII, PSII memiliki SEMMI, Muhammaddiyah memiliki IMM, dan PERTI memiliki GERMAHI/KMI. 

Kekuatan Dan Pengaruh PKI    
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Soekarno menetapkan konstitusi ini di bawah Dekrit Presiden dengan dukungan penuh dari PKI. Lalu mengangkat para jendral ke posisi penting untuk memperkuat Angkatan Bersenjata. Soekarno menjalankan demokrasi terpimpin yang disambut hangat oleh PKI, dengan anggapan bahwa ia memiliki mandate untuk persekutuan konsepsi Nasional, Agama, dan Komunis (NASAKOM). 

Di era "Demokrasi Terpimpin" kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional gagal menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politik dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor turun, cadangan devisa turun, inflasi terus naik, korupsi birokrat dan militer mewabah.    

Kekuatan PKI mencapai puncak ketika berhasil membangun beberapa perguruan rakyat seperti Panti Pengetahuan Rakyat (PANPERA), Balai Pengetahuan Rakyat (BAPERA), dan Mimbar Pengetahuan Rakyat (MIPERA) di hampir seluruh wilayah dan kota di Indonesia. PKI juga berhasil membangun perguruan tinggi, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Instititut Pendidikan Harjono, Akademi Ilmu Sejarah Ronggowarsito, Akademi Ilmu Ekonomi Dr. Ratulangi, Akademi Ilmu Teknik Ir. Anwari,  Universitas Bachtaruddin, dan IKIP Kujang di kota-kota di Jawa.

PKI pun mendirikan organisasi-organisasi Comite Daerah Besar (CDB) di tingkat propinsi, Comite Seksi (CS) di tingkat kabupaten dan kota, Comite Subseksi (CSS) di tingkat kecamatan, dan Comite Resort (CR) di tingkat kelurahan dan desa di hampir seluruh wilayah Indonesia.     

Bahkan PKI berhasil membentuk dan menggerakkan organisasi bagian dari sayapnya, antara lain : 1). Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BEPERKI), untuk keahlian warga keturunan Cina. 2). PGRI Non Fak Sentral, untuk keahlian profesi guru-guru, untuk menandingi Persatuan Guru Republik Indonesia.3). Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), untuk keahlian buruh dan pekerja. 4). Barisan Tani Indonesia (BTI), untuk para petani dan nelayan.5). Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI)untuk menampung keahlian para pegawai tingkat kelurahan/desa. 6). Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) untuk mahasiswa.7). Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) untuk wanita. 8). Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), untuk pelajar dan siswa.9). Pemuda Rakyat (PR) untuk pemuda dan belia. 10). Himpunan Sarjana Indonesia (HIS), untuk sarjana dan graduan perguruan tinggi.11). Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) untuk keahlian seniman dan budayawan.     

Seluruh organisasi dan lembaga tersebut menghimpun tidak kurang dari 20 juta anggota dan simpatisan, terdiri dari 3,5 juta anggota, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya, pergerakan 3,5 juta anggota serikat buruh, 9 juta anggota barisan tani Indonesia, pergerakan wanita (GERWANI), organisasi penulis, artis, dan pergerakan sarjananya. Sehingga PKI menjadi salah satu partai komunis terbesar di dunia, setelah Cina dan Uni Sovyet.    

Untuk menyebarluaskan komunisme dan ajaran-ajarannya PKI menerbitkan tiga surat kabar, yaitu : Harian Rakyat, Warta Bhakti, dan Bintang Timur. PKI mampu mempengaruhi isi surat kabar lain seperti Harian Zaman Baru, Harian Republik, Pendorong, Sin Po, dan terompet Masyarakat. Untuk memperkuat kedudukannya PKI menguasai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan lembaga Kantor Berita Antara.

Dan melalui tangan Soekarno, memperalat proses Nasakomisasi, PKI berhasil menguasai banyak lembaga negara, lembaga tinggi negara, dan angkatan udara. Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI semakin menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dengan polisi dan militer. Para pemimpin PKI mengutamakan kepentingan bersama polisi dan rakyat. Pemimpin PKI D. N. Aidit mengilhami slogan untuk ketentraman umum "Bantu Polisi".

Pada bulan Agustus 1966, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dan tidak bersikap sectarian terhadap Angkatan Bersenjata, menghimbau semua pengarang dan seniman sayap kiri membuat "massa tentara" sebagai subjek karya-karya mereka.Akhir tahun 1964 dan awal tahun 1965, kaum buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan secara resmi.

Pada saat bersamaan jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota cabinet, karena jabatannya di militer oleh Presiden Soekarno disamakan dengan mentri. Terbukti dengan adanya jabatan Mentri Panglima Angkatan Bersenjata (Menpangab), Mentri Panglima Angkatan Darat (Menpangad), dan lain-lain.     

Menteri-menteri PKI yang duduk di sebelah para petinggi militer dalam kabinet Soekarno mendorong ilusi yang sangat berbahaya, bahwa angkatan bersenjata merupakan bagian dari revolusi demokratis rakyat. Aidit pernah berceramah kepada sekolah angkatan bersenjata tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan" yang semakin kuat setiap hari antara Tentara Nasional Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis.    

Pada kunjungan Mentri Luar Negri Subandrio ke Cina, Perdana Mentri Zhou Enlai berjanji akan mempersenjatai dengan lengkap 40 batalyon Tentara Nasional Indonesia, gratis tanpa syarat. Kemudian dilaporkan kepada Presiden Soekarno, tetapi belum juga ditentukan waktunya sampai meletusnya G 30 S.

Pada awal tahun 1965 Bung Karno mengungkapkan ide pembentukan angkatan ke lima yang berdiri sendiri terlepas dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pandangan lain mengatakan PKI-lah yang mengusulkan pembentukan angkatan ke lima ini dan mempersenjatai mereka. Tetapi para petinggi Angkatan Darat tidak setuju, sehingga masalah ini menimbulkan nuansa saling mencurigai antara militer dan PKI. Rezim Soekarno, melarang aksi-aksi mogok para pekerja di industri. Kepemimpinan PKI tidak keberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM. 

Isu Dokumen Gilchrist    
Dokumen Gilchrist diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist, beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu dewan jendral. Dokumen ini oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelijen Ceko di bawah pengawasan  Jendral Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli pihak barat. Kedutaan besar Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti."     

Dinas intelijen Amerika Serikat mendapatkan data-data dari berbagai sumber, salah satunya yang ditulis John Hughes, wartawan  The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval" yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.

Faktor Amerika Serikat
Amerika Serikat waktu itu terlibat perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis. Peranan CIA dalam hal ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (nilai uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia.

Politisi Amerika Serikat pada bulan-bulan menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Soekarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia. Menurut salah satu sumber bahwa peran Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, dapat dilihat dari telegram duta besar Green ke Washington tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluh karena usahanya melawan propaganda anti Amerika Serikat di Indonesia tidak berhasil dan tidak berguna.    

Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober 1965, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang tak masuk akal karena situasi politik Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, hingga akhir Oktober 1965 masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI, NU, atau PNI? Sumber lain, terutama dari kalangan korban insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika Serikat menjadi aktor di balik layar, dan setelah dekrit Supersemar, Amerika Serikat memberikan nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga sekarang kedua sumber di atas tidak punya banyak bukti fisik.

Isu Bung Karno Sakit
PKI telah mengetahui persiapan-persiapan pembentukan rezim militer, lalu mengusulkan pendirian angkatan ke lima, di dalam angkatan bersenjata, terdiri dari para pekerja dan petani yang dipersenjatai. Bukan memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang, kepemimpinan PKI malah berusaha membatasi gerakan massa yang makin mendalam pada batas-batas hukum kapitalis negara.     

Mereka di depan para jendral berusaha meyakinkan bahwa usul PKI itu akan memperkuat negara.  Aidit melaporkan ke komite sentral PKI bahwa Nasakomisasi Angkatan Bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerja sama mendirikan angkatan ke lima. Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia.     Bulan Mei 1965, polit biro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparat militer dan negara sedang diubah untuk mempersempit aspek anti rakyat dalam alat-alat negara. Isu Masalah Tanah  Dan Bagi Hasil
Pada tahun 1960 terbit Undang-Undang Pokok  Agraria (UUPA)dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil sebagai kelanjutan dari Panitia Agraria yang menghasilkan Undang-Undang Pokok Agraria terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai organisasi massa tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik saat itu. Namun tak ada yang melaksanakan  undang-undang itu  di daerah sehingga timbul gesekan-gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya yang dibacking aparat keamanan. 
Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini adalah peristiwa Bandar Betsi di Sumatra Utara dan peristiwa di Klaten, sebagai aksi sepihak dan kemudian militer menggunakannya sebagai dalih untuk membersihkannya.     

Sementara di Jawa Timur juga terjadi keributan antara PKI dengan NU, PERSIS, dan Muhammadiyah, bahkan hamper di semua tempat di Indonesia. Kiai-kiai NU yang kebanyakan tuan tanah menolak gerakan PKI membagi-bagikan tanah kepada petani yang tak punya tanah. Di beberapa tempat PKI mengancam akan menyembelih para kiai setelah tanggal 30 September 1965 (ini membuktikan seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September 1965).

Faktor Malaysia
Konfrontasi Indonesia-Malaysia, saat negara federal Malaysia baru terbentuk tanggal 16 September 1963, menyebabkan kedekatan Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang bergabung dalam gerakan G 30 S/ PKI atau Gestok, juga akhirnya menyebabkan PKI menculik dan membunuh para petinggi Angkatan Darat.    

Sejak demonstrasi-demonstrasi anti Indonesia di Kuala Lumpur di mana para demonstran menyerbu gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia, merobek-robek photo Bung Karno, membawa lambang Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdurrahman, Perdana Mentri Malaysia saat itu dan memaksanya menginjaknya. Amarah Bung Karno terhadap Malaysia meledak.    

Bung Karno mengutuk tindakan Tunku Abdurrahman dan penghinaan terhadap Indonesia itu, lalu membalasnya dengan gerakan "Ganyang Malaysia". Perintah Bung Karno kepada Angkatan Darat untuk mengganyang Malaysia ditanggapi dingin oleh para jendral saat itu. Di satu pihak Letnan Jendral Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu Inggris dengan anggapan tentara Indonesia saat itu tidak memadai dalam skala tersebut. Sedangkan Kepala Staf Angkatan Darat Jendral A. H. Nasution menyetujui usulan Bung Karno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini ditunggangi PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik Indonesia.

Posisi Angkatan Darat saat itu serba salah karena mereka tidak yakin dapat mengalahkan Inggris, dan mereka akan menghadapi Bung Karno yang akan mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih berperang setengah hati di Kalimantan. Brigadir Jendral Supardjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tidak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang. Operasi gerilya di Malaysia gagal, padahal sebenarnya tentara Indonesia sangat mahir dalam perang gerilya.

Mengetahui tentara Indonesia tak mendukungnya, Bung Karno kecewa dan mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Bung Karno dalam otobiografinya, mengakui bahwa ia seorang yang memiliki harga diri sangat tinggi, dan tak ada yang dapat dilakukan untuk merubah keinginannya mengganyang Malaysia.    

PKI menjadi pendukung utama gerakan "Ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek neokolonialisme, PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, motif PKI mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.    

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelijen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka tanggal 13 Januari 1965 menyebutkan adanya percakapan santai Bung Karno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia sehingga tidak bisa menindak tegas mereka. Namun Bung Karno pun menegaskan bahwa suatu waktu giliran PKI akan tiba. "Bung Karno berkata,"Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu...Untukku Malaysia itu musuh nomor satu.

Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang." (Wikipedia).Kedudukan PKI semakin kuat dan menjadi ancaman serius bagi para penantangnya, ditambah hubungan internasional PKI dengan partai komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow- Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno mengetahui hal ini, tetapi mendiamkannya karena ia masih meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang tengah berlangsung, karena posisi Indonesia melemah di lingkungan internasional sejak ke luar dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa (20 Januari 1965).

Gerakan 30 September 1965    
Pada saat-saat genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jendral yang mengungkapkan bahwa beberapa petinggi Angkatan Darat tidak puas terhadap Soekarno dan berniat menggulingkannya. Menanggapi isu ini Soekarno disebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa menangkap dan membawa mereka untuk diadili. 

Seluruh akumulasi kekuatan PKI menyimpulkan bahwa mereka telah siap merebut kekuasaan, dan tinggal menunggu waktu. Dalam bahasa isyarat PKI menyebut kondisi dan kekuatan itu dengan, "Ibu telah hamil tua.", tinggal menunggu saat-saat melahirkan, waktunya tak lama lagi.    

PKI telah menyiapkan tiga pasukan utama, yaitu pasukan Pasopati yang bertugas menculik dan membunuh para jendral Angkatan Darat yang berlawanan dengan PKI. Pasukan Pringgodani bertugas menguasai lapangan udara Halim Perdana Kusuma dan sarana-sarana penting politik dan ekonomi. Pasukan Bima Sakti bertugas menguasai sekitar Monas, Istana Negara, Radio Republik Indonesia, dan Telekomunikasi, dan tempat-tempat strategis lain.

Pada tanggal 30 September 1965 terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap enam pejabat tinggi militer Indonesia, seorang perwira pertama, dan beberapa orang lain, dalam suatu usah pemberontakan atau kudeta yang dituduhkan kepada para anggota PKI.Ke enam pejabat tinggi Angkatan Darat yang dibunuh tersebut adalah :

1). Letnan Jendral TNI Ahmad Yani (Mentri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi).
2). Mayor Jendral R. Suprapto (Deputi II Mentri /Panglima Angkatan Darat bidang Administrasi). 3). Mayor Jendral Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Mentri/Panglima Angkatan Darat bidang Perencanaan dan Pembinaan).4). Mayor Jendral Suwondo Parman (Asisten I Mentri/Panglima Angkatan Darat bidang Intelijen).
5). Brigadir Jendral Donald Izaacus Panjaitan (Asisten IV Mentri/Panglima Angkatan Darat bidang Logistik).
6). Brigadir Jendral Sutoyo Siswomihardjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jendral Angkatan Darat). Jendral TNI Abdul Haris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Tetapi, putrinya, Ade Irma Suryani Nasution, dan ajudannya , Letnan Satu Pierre Andreas Tendean gugur dalam peristiwa itu.Ada beberapa orang lain yang menjadi korban,yaitu :
1). Bripka  Karel Satsuit Tubun (pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Mentri II dr. J. Leimana).
2). Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas Yogya). 3). Letnan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Umum Korem 072/Pamungkas Yogya).Para korban yang di Jakarta jenazahnya dibuang ke suatu lokasi (sumur tua) di daerah Lubang Buaya, Pondok Gede. Mayat mereka ditemukan pada tanggal 3 Oktober 1965.     

Pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 07.00 waktu Indonesia bagian Barat, PKI mengumumkan melalui siaran RRI Pusat, tentang pembentukan gerakan perjuangan yang berfungsi sebagai pemerintahan sementara, yang disebut Gerakan 30 September, yang dalam praktek sehari-hari dilaksanakan oleh Dewan Revolusi Indonesia, akan dibentuk Dewan Revolusi Propinsi, Dewan Revolusi Kabupaten, Dewan Revolusi Kecamatan.    

Menurut pengamat sejarah, PKI dengan cepat membentuk Dewan Revolusi yang terdiri dari 45 orang, lima di antaranya bertindak sebagai presidium, selebihnya sebagai anggota. Tetapi hasil pemberontakan mereka hanya sampai pada tahap ini. Karena sebelum mereka dapat menguasai berbagai posisi dan lokasi pengambila keputusan serta proyek vital, mereka telah kehabisan energi dan akhirnya keadaan berbalik kea rah kehancuran mereka.

Soekarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner para "pemberontak" dengan berpindah ke pangkalan udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan. Kesalahan kecil tetapi berpengaruh pada tahap operasi militer Gerakan 30 September 1965 adalah lolosnya Jendral A. H. Nasution dan tidak diperhitungkannya Komando Strategi Angkatan Darat (KOSTRAD) yang dipimpin Mayor Jendral Soeharto. Dua Jendral yang kurang diperhitungkan inilah yang menjadi motor dan lokomotif penghancuran PKI.

Mayor Jendral Soeharto langsung mengontak Panglima Angkatan Laut, Panglima Angkatan Kepolisian, Komandan Batalyon Kujang Siliwangi di Bandung, dan menggerakkan pasukan elit Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) untuk merebut RRI Pusat dan Gedung Telkom.
Pada pukul 19.00WIB  tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto sudah tampil berbicara di corong radio, mengumumkan bahwa Gestapu/PKI dan Dewan Revolusioner adalah makar dan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, dan meminta rakyat tidak melibatkan diri dalam pemberontakan tersebut. Inilah pertama kalinya seorang jendral menegaskan siapa kawan, siapa lawan, meminta rakyat menghancurkan pemberontakan tersebut.

Tanggal 6 Oktober 1965 Soekarno menghimbau rakyat menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara Angkatan Bersenjata dengan para korbannya dan penghentian kekerasan. Biro politik dan komite senttral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "Pemimpin Revolusi Indonesia" dan tidak melawan  Angkatan Bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di Koran CPA bernama Tribune.     

Tanggal 12 Oktober 1965, para pemimpin  Uni Sovyet Brezhnev, Mikoyan, dan Kosygin, mengirim pesan khusus untuk Soekarno, "Kita dan rekan-rekan kita bergembira mendengar bahwa kesehatan Anda telah membaik... Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato Anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tenang dan menghindari kekacauan...Himbauan akan dimengerti secara mendalam."   Tanggal 16 Oktober 1965, Soekarno melantik Mayor Jendral Soeharto menjadi Mentri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Dalam Konferensi Tiga Benua di Havana bulan Februari 1966, perwakilan Uni Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka menghindari pengotakan atas penangkapan  dan pembunuhan orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia.Pendirian mereka mendapat pujian dari rezim Soeharto. Parlemen Indonesia menegesahkan  resolusi tanggal 11 Februari 1966, menyatakan " penghargaan penuh atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni Sovyet dan negara-negara lain di konferensi solidaritas negara-negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisasi usaha-usaha para kontra revolusioner gerakan 30 September, dan para pemimpin serta pelindung mereka, untuk campur tangan terhadap urusan dalam negri Indonesia.

Asumsi Penangkapan Dan Pembunuhan    
Pada bulan-bulan setelah peristiwa G 30 S -  PKI, mereka yang dianggap simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui, ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi untuk diinterogasi dan disiksa tanpa perlawanan. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November), dan Bali (bulan Desember) 1965. Tidak diketahui dengan pasti berapa orang dibantai? Perkiraan konservatif menyebutkan 500 ribu orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidaknya satu juta orang menjadi korban bencana kemanusiaan enam bulan pasca kudeta itu.     

Tentara menghasut dan membantu kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap kanan seperti barisan Anshor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakuakan pembunuhan missal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya sampai di tempat-tempat tertentu terbendung mayat.    

Sewaktu regu-regu militer yang didukung CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan dengan keji membantai mereka, majalah "Time" saat itu memberitakan, "Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala besar sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi sangat serius di Sumatra Utara, di mana udara lembab membawa bau mayat membusuk.

Orang-orang dari daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang terbendung mayat-mayat. Transportasi sungai terhambat secara serius." (Wikipedia). Di Bali, yang sebelum peristiwa G 30 S dianggap sebagai kubu PKI, sedikitnya 35.000 orang menjadi korban di awal tahun 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elit PNI adalah pelaku pembunuhan ini.Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar perburuan rasialis "anti Tionghoa" terjadi. Para pekerja dan pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini  dipecat.     
Diperkirakan sekitar 110.000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir tahun 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan, termasuk terhadap belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tahanan politik, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman, dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

Isu Keterlibatan Soeharto
Sampai sekarang Soeharto tak terbukti terlibat dalam G 30 S/PKI. Satu-satunya bukti yang dapat dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada masa itu tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.

Angkatan 66    
Jauh sebelum pemberontakan Gestapu/PKI, sudah ada pihak dan golongan anti komunis, baik secara terang-terangan maupun diam-diam. Golongan-golongan itu antara lain adalah beberapa perwira Angkatan Darat, tokoh-tokoh Islam seperti bekas-bekas anggota Masyumi, HMI, PII, kalangan muda NU dan Muhammadiyah, bekas-bekas anggota PSI, tokoh-tokoh tertentu Katholik/PMKRI, SOKSI, dan lain-lain, secara naluriah, kelompok inilah yang paling cepat terpanggil untuk memerangi PKI.     

Sulastomo, ketua umum Pengurus Besar HMI saat itu, bersama Syarifuddin Harahap, pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi langsung menghubungi Subchan Z. E. , ketua PBNU yang dekat angkatan muda, untuk menilai situasi dan menentukan sikap bersama. Atas inisiatif Subchan Z. E., diadakan rapat umum pertama untuk menentang, mengutuk Gestapu/PKI, menuntut pembubaran PKI dan antek-anteknya, di Taman Sunda Kelapa, Jakarta tanggal 4 Oktober 1965.     

Sore harinya, Subchan Z. E. bersama tokoh-tokoh anti komunis membentuk badan yang mengkoordinasikan aksi-aksi penumpasan PKI di kalangan sipil, yang dinamakan "Kesatuan Aksi Pengganyangan Kontra Revolusi Gestapu" disingkat KAP Gestapu, merupakan kesatuan aksi pertama di Indonesia yang bertujuan menghancurkan komunisme di Indonesia, dengan alamat pejabatnya di Jl. Sam Ratulangi No. 1 (Sekretariat Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia) dan juga Jl. Banyumas No. 4 (rumah Subchan Z. E.). KAP Gestapu ini didukung NU, Partai Katholik, Muhammadiyah, Angkatan Muda Muhammadiyah, GP Anshor, IPKI, HMI/KAHMI yang ikut dalam susunan pengurus KAP-Gestapu adalah Syarifuddin Harahap (Biro Keuangan), Ismael Hasan Metareum, Mar'ie Muhammad, Dahlan Ranumihardja, dan Sulastomo (anggota). KAP- Gestapu menjadi "dapur pemikiran" untuk menilai setiap perkembangan situasi dan mengolahnya menjadi berbagai program aksi, mulai dari aksi jalanan (demonstrasi) sampai pada pengiriman petisi dan utusan kepada lembaga yang berkepentingan.

KAP-Gestapu memperkenalkan dan memulai aksi-aksi jalanan dan demonstrasi yang kemudian menjadi program rutin seluruh kesatuan aksi lainnya. Sejalan dengan itu, seluruh kantor induk pejabat PKI dan organisasi pendukungnya, dihancurkan oleh kelompok-kelompok PII, HMI, dan Pemuda Muhammadiyah, atau diserahkan kepada militer.Setelah tanggal 1 Oktober 1965 dan beberapa bulan berikutnya terjadi perubahan situasi yang luar biasa di dalam konstelasi politik di Indonesia. Dampaknya sangat terasa di dunia kampus. Bukan saja karena gelombang-gelombang politik selalu memukul-mukul dinding kampus, juga karena peranan mahasiswa sangat menonjol dalam peristiwa di sekitar peralihan 1965-1966.     

Berbagai aksi demonstrasi terjadi terus-menerus pada bulan-bulan terakhir 1965, menjadi salah satu indikator ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah, khususnya dalam menuntaskan krisis politik akibat G 30 S 1965.     Krisis politik belum selesai, pemerintah pada tanggal 22 November 1965 memperparah krisis bidang ekonomi dengan menaikkan harga bensin dari Rp 4 per liter menjadi Rp 250 per liter. Sehingga berbagai harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan umum melonjak. Indeks biaya hidup meningkat tajam dari 22.651 menjelang bulan November menjadi 36.347 menjelang bulan Desember 1965.

Ekonomi masyarakat Indonesia waktu itu sangat rendah sehingga melemahkan dukungan rakyat kepada Soekarno dan PKI. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula,  dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan dalam kenaikan harga ini adalah keputusan  Soeharto-Nasution untuk menaikkan gaji tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa sehingga mereka kabur. Akibat inflasi, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, dan bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya, mereka juga memakai pakaian dari bahan karung.     

Belum sempat Indonesia sembuh dari berbagai luka politik, ekonomi, dan dampak yang disebabkan oleh peristiwa G 30 S 1965 masih menjadi trauma berkepanjangan bagi bangsa Indonesia, pada tanggal 3 Januari 1966 pemerintah menaikkan harga BBM. Harga bensin dinaikkan lagi secara drastis menjadi Rp 1.000,00 per liter. Minyak tanah yang  menjadi kebutuhan rakyat Indonesia juga harganya naik menjadi lebih dari 100%, dari seratus lima puluh rupiah per liter menjadi empat ratus rupiah per liter.

Diikuti kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan. Tarif bis, kereta api, dan pesawat terbang naik hingga 500%, tarif pos dan telekomunikasi naik hingga sepuluh kali lipat.    Kenaikan harga BBM dan berbagai harga kebutuhan pokok yang menyengsarakan rakyat ini mengundang reaksi keras dari berbagai pihak, terutama dari para mahasiswa yang tampil menjadi moral force rakyat Indonesia. Pada tahun 1965-1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan mendirikan Orde Baru.

Gerakan ini disebut Angkatan 66, sebagai awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan.Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu antara lain Cosmas Batubara (Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, ketiganya dari PMKRI, Akbar Tanjung dari HMI, dan lain-lain. Angkatan 66 mengangkat isu komunis sebagai bahaya laten Negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan untuk mendukung mahasiswa menentang komunis yang ditukangi PKI. Di masa ini ada tokoh yang sangat idealis, sampai sekarang ia menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa idealis setelah masanya, ia seorang aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini, dialah Soe Hok Gie.

Lahirnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia    
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada tanggal 25 Oktober 1965 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Mentri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayor Jendral dr. Syarief Thayeb, di antaranya adalah PMKRI, HMI, PMII, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi Lokal (SOMAL), SEMMI, GERMAHI, IMM, Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).    

Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa Indonesia dalam menggalang aksi dan melancarkan demonstrasi menuntut pembubaran PKI dan underbouw-underbouwnya, termasuk Central Gerakan Mahasiswa Indonesia, menjadi lebih terorganisasi, terkoordinasi, dan memiliki kepemimpinan.    

Lahirnya  KAMI diikuti berbagai kesatuan aksi lain, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI),Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain. Sejarah lahirnya KAMI berkaitan dengan peristiwa hamper sebulan sebelumnya, yaitu penculikan dan pembunuhan terhadap enam jendral dan satu perwira pertama oleh gerombolan Gerakan 30 S (G 30 S) yang dengan cepat berimbas terhadap sosial politik di tengah kehidupan bangsa Indonesia,  termasuk kelompok mahasiswa saat itu.

Tuduhan PKI sebagai dalang pun segera merebak. Terlebih setelah Angkatan Darat yang dipimpin Mayor Jendral Soeharto melarang surat kabar afiliasi terbit. Hanya koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha milik Angkatan Darat saja yang bebas menyiarkan berita yang umumnya provokatif. Beritanya seolah ditelan mentah-mentah tanpa knofirmasi itu kemudian memberi angin segar bagi kelompok anti komunis untuk melancarkan tuduhan dan serangan terhadap PKI dan underbouw-underbouwnya. Partai-partai yang bersebrangan dengan PKI seperti Partai Katholik, Partai Murba, IPKI, NU, mengecam tindakan PKI.     
Di mana-mana didirikan front pembubaran PKI, hingga markas PKI di Jl. Kramat Raya Jakarta pun dibakar. Dunia mahasiswa, salah satu komponen masyarakat yang umumnya sudah dikotak-kotakkan dengan afiliasi partai politik-partai politik (termasuk seni, wanita, buruh, dan surat kabar) ketika itu mendirikan wadah anti PKI.    

Dendam kalangan mahasiswa non komunis terhadap CGMI telah berlangsung lama sebelum peristiwa G 30 S. Sebab dengan naik daunnya PKI, karena kedekatannya dengan Presiden Soekarno membuat CGMI bersikap angkuh terhadap organisasi-organisasi mahasiswa lain. Perhimpunan Pergerakan Mahasiswa Indonesia (PPMI) sebagai gabungan organisasi-organisasi mahasiswa dikuasai CGMI. Tindakan mereka yang paling tidak disukai adalah menuntut pembubaran HMI, padahal sama-sama tergabung dalam PPMI.

Tuduhan  kepada HMI saat itu adalah HMI memiliki hubungan dengan Masyumi, partai terlarang pada pemerintahan Presiden Soekarno. Tetapi keputusan yang tinggal ditandatangani Soekarno itu tidak terjadi, karena "gertakan" Mentri Agama K. H. Saifuddin Zuhri. Dendam kesumat itu memuncak pasca G 30 S. Giliran HMI membabat CGMI. Kemudian sejarah mencatat, dengan bantuan Angkatan Darat aktivis CGMI ditangkapi dengan mata-mata mahasiswa anti PKI.

Seluruh elemen masa bergerak untuk membubarkan PKI meskipun Bung Karno bersikukuh mempertahankannya, tetapi tidak berhasil, wibawanya telah terkikis.HMI melibatkan diri dan menjadi pendukung utama kegiatan KAMI, mulai dari perencanaan kegiatan, persiapan sampai dengan pelaksanaan aksi dan kemudian evaluasi setiap aksi. Mulai dari penyusunan konsep, agenda, gagasan, dan ide, sampai pada mengerahkan massanya pada setiap kegiatan. Bahkan HMI, beberapa organisasi mahasiswa, dan pelajar dari kalangan Islam, menghiasi aksi-aksi jalanan dengan ucapan takbir membahana, sehingga aksi sangat bersemangat dan berwarna Ilahiah.    

Dalam kepengurusan KAMI Pusat periode I 25 Oktober 1965-21 Juli 1966, HMI mengirimkan wakilnya Nazar E. Nasution (sebagai sekretaris jendral), dan Ismael Hadad (biro penerangan). Dalam kepengurusan periode II (mulai 21 Juli 1966), HMI mengirimkan Mar'ie Muhammad (sebagai salah seorang ketua), Farid Laksmana (sekretaris jendral), dan Ismael Hadad (biro penerangan), di mana peran HMI semakin kuat dan dominan di setiap kegiatan KAMI, karena dua hal yaitu pertama karena jumlah anggota (massa) HMI sanagat besar, sehingga setiap ada kegiatan aksi di jalan massa HMI yang ikut paling banyak. Kedua, HMI merupakan organisasi mahasiswa paling dibenci PKI dan bahkan dituntut untuk dibubarkan, sehingga bagi HMI komunisme adalah musuh sejak lama dan musuh sepanjang sejarahnya. 
  
Aksi Tritura
Selanjutnya KAMI menuntut pemerintah agar meninjau berbagai kenaikan harga, lalu KAMI menggelar seminar untuk membahas masalah ekonomi Indonesia pada tanggal 10 Januari 1966, di Universitas Indonesia. Tampil sebagai pembicara antara lain Jendral A. H. Nasution, Letnan Jendral Soeharto, Syarief Thayeb, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Subchan Zaenuri Echsan. Saat itu HMI melahirkan pemikiran pada aspirasi rakyat yang dikenal dengan Amanat Penderitaan Rakyat dan memperjuangkan berbagai keluhan, tuntutan, dan hati nurani rakyat.

Kemudian memformulasikannya menjadi Tritura, substansinya disusun oleh Cosmas Batubara , David Napitupulu (PMKRI, dan Mar'ie Muhammad (HMI), sedangkan redaksinya disusun oleh Ismid Hadad (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia), dan Saverinus Suardi (PMKRI).Tiga tuntutan rakyat yang mendasar kepada pemerintah itu mendapat dukungan penuh dari Angkatan Bersenjata. Isinya adalah :

1). Bubarkan PKI beserta ormasnya.
2). Turunkan harga dan perbaiki sandang pangan. 3). Perombakan dan pembersihan kabinet Dwikora dari unsur PKI.
Dari ketiga pasal tersebut, dua tuntutan pertama merupakan produk lama karena sebelumnya telah disuarakan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu) sejak bulan Oktober 1965, sementara tuntutan terakhir merupakan produk baru. Keberadaan tuntutan yang ketiga dalam Tritura bernilai paling strategis karena langsung bersentuhan dengan kepentingan rakyat banyak.    

Keberhasilan KAMI memformulasikan Tritura dalam perkembangan selanjutnya mampu menyimbolkan perjuangan bersama seluruh kekuatan mahasiswa. Sejak dicetuskannya Tritura, aksi-aksi demonstrasi mahasiswa berkembang semakin membesar dan intens, menjadi semakin bermakna dengan dukungan penuh rakyat dan Angkatan Bersenjata. Aksi-aksi Tritura yang diperjuangkan mahasiswa secara konsisten sejak awal Januari 1966 akhirnya terbukti menjadi semacam kata sandi bagi berbagai perubahan politik mendasar di tanah air sepanjang pertengahan tahun 1960, termasuk suksesi kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto.

Titik puncak keruntuhan wibawa Bung Karno salah satunya disebabkan aksi-aksi Tritura.  Aksi-aksi Tritura sebagai reaksi terhadap keadaan politik, sosial, ekonomi, masyarakat dan pemerintahan waktu itu yang telah mengarah kepada kehancuran dan konflik di antara para elite politik yang berkuasa dalam pemerintahan. Timbul kecemasan rakyat di seluruh tanah air terhadap kelangsungan hidup negara. KAMI, organisasi extra universitas, memimpin menyampaikan aspirasi masyarakat dengan berdemonstrasi di pekarangan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia kampus Salemba.

Didahului upacara yang diikuti pimpinan Resimen Para Komando Angkatan Darat, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo beserta staff. Yang dipakai dalam aksi-aksi Tritura adalah panji-panji KAMI. Jaket kuning Universitas Indonesia menonjol dalam perjuangan menegakkan Orde Baru, disebabkan karena massa KAMI terbesar terdapat di UI dan diorganisasi oleh KAMI UI. Kampus UI merupakan pusat perjuangan Orde Baru, di mana berbagai kekuatan Orde Baru, khususnya mahasiswa dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bertemu.Perjuangan angkatan 66 telah meluas dan melebar dari sekadar penghancuran komunisme di Indonesia, bukan sekadar masalah permukaan dan ringan, tetapi sudah masuk ke dalam perjuangan rakyat Indonesia.    

Pemboncengan modus ekonomi ke politik menguntungkan KAMI, gelombang aksi mendapat dukungan luas ke daerah-daerah, sehingga KAMI menjadi kekuatan politik. Pemimpin-pemimpin KAMI Pusat seperti Cosmas Batubara, Sulastomo, Harry Tjan Silalahi, David Napitupulu, Arif Rahman, Mar'ie Muhammad menjadi idola baru tidak hanya di kalangan mahasiswa, tetapi juga di kalangan masyarakat umum.    

Hasanuddin Haji Madjedi menjadi pahlawan Ampera pertama, gugur di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, gugur karena tembakan oknum tentara Batalyon K Kodam Diponegoro Jawa Tengah yang di-BKO-kan di Banjarmasin pada tanggal 10 Februari 1966. Ketika almarhum yang sedang memegang spanduk bertuliskan "Tak Ada Pilihan Lain, Menjadi Bangsa Indonesia atau Bangsa Asing", bersama rekan-rekan demosntran lain pulang dari berunjuk rasa di konsulat Republik Rakyat Tionghoa di Jl. Pacinan Laut (kini Jl. Kapten Pierre Tendean) Banjarmasin.

Pahlawan Ampera ini dimakamkan satu kompleks dengan makam pahlawan nasional Pangeran Antasari, di kawasan pekuburan muslim Jl. Masjid Jami' Banjarmasin. Puncak aksi terjadi pada tanggal 24 Februari 1966. Demo mahasiswa di depan istana negara berbuntut bentrok dengan pasukan Cakrabirawa. Pasukan Cakrabirawa mungkin telah kehilangan akal sehat menembak membabi buta kearah kerumunan hingga seorang mahasiswa kedokteran UI, Arif Rahman Hakim gugur tertembak. Revolusi membutuhkan korban.

Sang pahlawan yang kelak diberi gelar pahlawan Ampera itu membawa semangat baru di kubunya. Perjuangan KAMI dalam angkatan 66 mengalami suka duka, pahit manis, berhadapan dengan kekuatan, berhadapan dengan kekuatan penguasa militer yang memihak Soekarno (Orde Lama) dan PKI.  Banyak mengambil resiko mulai dari kekurangan makan, tekanan, siksaan fisik, hingga kematian. Banyak korban tewas dalam perjuangan panjang menegakkan Orde Baru.

Dalam aksi tanggal 24 Februari 1966, gugur dua orang pejuang angkatan 66, Zubaedah (PII/KAPPI) dan Arif Rahman Hakim (HMI/KAMI). Rekan-rekan mereka mengantar jenazah mereka ke pemakaman tanggal 25 Februari 1966, dengan prosesi yang sangat sahdu dan mengharukan, seluruhnya memperkuat tekad dan semangat generasi muda untuk terus berjuang.     

Para pejuang yang lain yang gugur dalam memperjuangkan Ampera pada saat itu antara lain Hasanuddin Noor (mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin) wafat tanggal 10 Februari 1966, Muhammad Syarif Al Kadri (mahasiswa Ujung Pandang) gugur tanggal 25 Februari 1966, Arismunandar (pelajar SMP Muhammadiyah X Yogyakarta), Margono (pelajar SPG Muhammadiyah I Yogyakarta) keduanya gugur tanggal 10 Maret 1966.

Yusuf Hasim dan Dicky Oroh (pelajar di Manado) gugur tanggal 31 Maret 1966, Mohd. Syafi ‘I (pelajar Jakarta) gugur tanggal 9 Mei 1966, Yulius Usman (mahasiswa Fakutas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung) gugur tanggal 18 Agustus 1966, Ahmad Karim (pelajar STM Bukittinggi) gugur tanggal 11 Desember 1966, Zaenal Zakse (wartawan Harian KAMI) gugur tanggal 8 Mei 1967. Mereka semua dicatat dengan tinta emas dalam sejarah sebagai pejuang yang membela hak-hak rakyat dan diangkat sebagai pahlawan Ampera, dan rakyat Indonesia tidak akan pernah melupakan perjuangan mereka.     Taufik Ismail, seorang tokoh angkatan 66 dari kalangan penyair, mengabadikan suasana kedukaan itu dalam sajaknya yang sangat terkenal "Sebuah Jaket Berlumuran Darah" : 

"Sebuah jaket berlumuran darahKita semua telah menatapmu                        
Telah berbagi duka yang agung                        
Dalam kepedihan bertahun-tahun .............................................................
Akan mundurkah kita sekarang?                      
Seraya mengucap
"Selamat tinggal perjuangan!"                        
Berikrar setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?  ......................................................................................                         
Prosesi jenazah ke pemakaman                        
Mereka berkata Semuanya berkata
Mereka gugur sebagai pahlawan perubahan yang menjadi inovator perjuangan. Konsep kepemimpinan selalu dimualai oleh oarng muda. Perubahan memang memerlukan pengorbanan. Angkatan 66 yang terdiri dari pejuang muda, baik dari organisasi mahasiswa, pelajar dan pemuda, atau dari kampus yang tergabung dalam berbagai organisasi seperti KAMI, Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia, Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia, Kesatuan Aksi Wanita Indonesia, bergabung dengan Angkatan 66. Mereka berjuang meluruskan arah dan tujuan bangsa Indonesia yang diselewengkan Orde Lama dan komunisme.

(Dari berbagai sumber, penulis peminat sejarah)

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)