Dosa Kita Semua - Part I

0

Episode 1

BURUNG-BURUNG CAMAR berterbangan dengan liar di sela-sela kabut pagi yang masih berat bergantungan di seluruh keluasan pandang. Lampu-lampu masih nyala di sekeliling pclabuhan Panjang, dan Wahab masih saja duduk di sebuah korsi rotan di beranda geladak dengan handuk pada lehernya.
Hari masih jam tujuh ketika itu, dan kapal belum boleh masuk sebelum mendapat izin dari syahbandar pada jam delapannya.
Kapten kapal kecil itu dengan dada telanjang mendekati Wahab, dan berkata kepadanya, "Sebentar lagi."
"Ya, sebentar lagi," jawab Wahab.
Wahab melihat ke arah kapten tua itu, dan bertanya, "Sudah berapa lama kapten bekerja di kapal?"
"Lebih dua puluh tahun."
"Dua puluh tahun!" hampir Wahab berteriak mengulangi kata-kata kapten itu.
"Ya, dua puluh tahun."
"Tidak mengganggu keadaan rumah tangga?" tanya Wahab.
"Saya tak pernah berumah tangga. Maaf, kalau saya turun ke darat, saya akan menjumpainya."
"Maksud saya istri yang sah," sela Wahab ketika kapten itu masih akan berbicara.
Kapten itu terdiam agak lama. Wahab berdiri dan sama-sama memegang terali geladak, tetapi kapten itu masih tetap tak angkat bicara.
"Dahulu memang saya mempunyai seorang istri, tetapi apa boleh buat, dia tidak suka saya jadi pelaut, akhirnya saya menerima permintaannya: Dia ingin kawin dengan seorang Haji dan sekarang hidup berbahagia."
Wahab tertarik dengan ucapan terakhir dari mulut kapten itu.
Kapten itu menawarkan kepadanya rokok State Express dan Wahab menerimanya. Kapten itu menyalakan baginya, dan Wahab menerimanya.
"Sekali jatuh cinta dengan laut, kita sudi mati di lautan. Barangkali saudara ada membaca cerita-cerita perang di mana seorang kapten kapal adalah orang yang terakhir ikut tenggelam bersama kapalnya yang barusan kena bom. Saudara bcrasal dari mana'?" tanya kapten itu tiba-tiba.
"Dari sini juga," jawab Wahab sambil mencoba mencurikan pandangnya untuk memperhatikan raut muka kapten itu.
"Tetapi saya telah dua tahun meninggalkan tempat ini, dan sekarang saya akan pulang mendapatkan istri saya," kata Wahab.
"Maaf," kata kapten itu, "saudara telah meninggalkan istri saudara selama dua tahun tanpa pulang?"
"Ya," jawab Wahab, "kenapa?"
"Ada pepatah lama yang masih belum saya lupakan," kata Kapten itu. Dihisapnya rokoknya agak dalam, dan kemudian berkata sambil menepuk bahu Wahab, "Tetapi saudara jangan tersinggung. Pepatah itu berbunyi demikian: Kalau kau akan berangkat meninggalkan istri, janganlah terlalu lama. Kalau lebih dari 40 hari, taruhlah abu di sekeliling tempat tidurnya."
"Apa maksudnya?" tanya Wahab agak tertarik.
"Abu itu akan menunjukkan jejak orang yang datang selama engkau tinggalkan."
Wahab terdiam agak lama mendengar ucapan kapten itu, dan kemudian dipalingkannya pandang ke balik Gunung Kunyit, dan di balik bukit itulah, beberapa kilometer lagi, istrinya dua tahun yang lalu ditinggalkannya.
"Istri saya seorang perempuan setia," kata Wahab mencoba menghibur dirinya dalam segala kekhawatirannya.
"Istri saya juga seorang perempuan setia," kata kapten kapal itu.
"Tetapi saya kira," kata Wahab sambil mendelik kepada kapten itu, "istri kila tidak sama."
Kapten itu jadi terdiam dengan ucapan Wahab itu, sekalipun hanya beberapa detik saja. Kemudian ia berkata, "Selamat pagi, coba saudara renungkan perkataan saya tadi. Dan ingat, itu dongeng Timor. Nama saya Berek Kandilla," kapten itu menepuk dadanya sendiri dan sesudah itu menepuk bahu Wahab.
Kapten itu pergi.
Sekarang tinggallah Wahab seorang diri sambil melemparkan puntung rokok ke permukaan air. Bila matanya diangkatnya ke atas, ia masih melihat burung-burung camar beterbangan dengan bebasnya. Wahab begitu asyik melihat bagaimana burung-burung itu bergelut di udara pagi yang masih dingin itu, sehingga ia tak tahu bahwa Kapten Berek Kandilla telah ada kembali di sisinya.
Berkata lagi kapten itu, "Saya membosankan barangkali, karena saya datang lagi. Tetapi saya sendiri tak bosan kalau berbicara tentang laut."
Wahab hanya menoleh sebentar kepadanya sambil mengangguk, kemudian matanya kembali menatap ke arah burung-burung camar yang asyik bergelut di udara.
"Mereka itu adalah kawan-kawan kami," kata kapten itu dengan nyinyirnya, "Maaf, saya membosankan barangkali, tetapi sungguh, kami banyak belajar dari burung-burung itu, bagaimana bagus dan senangnya hidup di laut."
Wahab terdiam.
"Tuan bernama Berek ...," tetapi kapten itu menyambung kealpaan Wahab dengan menyebut namanya sendiri, "Nama saya Berek Kandilla. Jangan lupa. Kapal kecil ini bemama "Kota Baru" jangan lupa. Siapa tahu nanti saudara butuh dengan saya, lain kali dan lain hari."
Kapten itu berjalan, dan meloncat seperti kijang ke sebalik kamarnya kemudian memasang corong di mulutnya sambil berteriak, "Motor!"
Sebentar kemudian terdengar motor kapal itu menggeru-geru, dan sesudah itu terdengar pula sebuah peluit panjang dan serak bunyinya. Kapal itu mulai bergerak perlahan-lahan, dan beberapa puluh menit kemudian sebuah motor boat syahbandar mendekat ke arah kapal kecil ini.
Makin lama, kapal itu makin ke tepi pelabuhan.
Ketika Wahab akan turun dari tangga kapal, kapten itu berseru-seru memanggilnya dengan berteriak, "Hee, Bung!" beberapa kali.
"Maaf, kalau saya membosankan. Begini: Saya mau menitip seekor burung nuri. Kapan Bung datang lagi di kapal ini, ingat namanya "Kota Baru," bawalah seekor burung nuri, akan saya beli berapa saja."
"Baik," jawab Wahab segera.
"Dan jangan lupa, nama saya Berek Kandilla, dan ingat, nama kapal saya "Kota Baru", jangan lupa. Selamat, selamat!"
Keluar dari douane, beberapa buah taksi telah menanti berjajar-jajar di luar pelabuhan Panjang, Wahab membawa kopornya menaiki sebuah taksi, dan tak lama kermudian taksi itu meluncur sepanjang jalan antara Panjang dan kota yang ditujunya: Teluk betung.
Di simpang Kangkung ia menyuruh sopir agar berhenti dekat tempat yang disebutnya "Bank Ekskompto," dan ketika ia turun dari taksi itu ia telah lupa sama sekali akan ucapan kapten kapal itu.
Hatinya sangat berdebar, dan ia tidak tahu apakah yang akan dilontarkan istrinya kepadanya sekiranya kedatangannya itu tidak disenangi sama sekali, ia berjalan lebih bergegas melewati sederetan rumah-rumah, dan ia sama sekali tidak mengacuhkan beberapa orang menongolkan kepalanya ke jendela atau ke luar beranda melihat ia datang. Bahkan ada yang berbisik-bisik mempercakapkannya.
Di depan sebuah pagar kawat pekarangan rumahnya, Wahab menelan nafasnya dalam-dalam, kemudian dicobanya memaniskan parasnya dengan sebuah senyum terganggu, dan kemudian diangkatnya kepalanya.

Lihat sambungannya, Lanjutkan disini.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)