Dosa Kita Semua - Part II

0
Part - II

Betapa! Betapa terkejutnya ia membaca huruf-huruf yang tergantung di depan pintu di atas sehelai karton, "RUMAH INI AKAN DIJUAL."

Lama sekali ia pandangi rumah itu, rumahnya sendiri, rumah yang dibelinya dengan memeras keringat bertahun-tahun, melawan siksaan hidup dan bahkan taruhan jiwa, seakan ia tak percaya akan huruf-huruf yang tertera di atas karton itu.

Ditekannya tangannya pada kopornya, sehingga cantel kopor itu tergenggam dengan begitu eratnya. Kini malamnya menjadi liar dan merah, dan mulai memperhatikan keadaan sekeliling dengan perasaan hangus. Ia tak begitu sadar benar, bahwa orang sudah banyak berkumpul saling mempercakapkannya, karena matanya tiba-tiba berpapasan dengan mata Tuan Abdul Wahab — seorang tetangga Pakistan yang senama dengan dia.

Tuan Abdul Wahab dengan kain sarong yang agak kedodoran datang berlari-lari mendekatinya, bibirnya akan berkata-kata sambil berlari-lari itu tetapi masih tidak mengucapkan sepatah kata pun ketika telah bergerak berdiri di hadapan Wahab.

Wahab kemudian berkata kepada Tuan Abdul Wahab.

"Tidak usah diterangkan Tuan Senama (dia dulu sering menyebutkan Tuan Abdul Wahab dengan sebutan "Tuan Senama"), saya tenlu malam ini menginap di hotel."

Tuan Abdul Wahab alias Tuan Senama itu makin gugup.

Akhirnya berkata kaku, "Ya Khaliki kami kira Pak Wahab sudah ….. maaf ya Khalik, kami kira bapak sudah meninggal dunia."

Wahab memandang tetangga Pakistannya dengan tercengang.

"Meninggal dunia?" tanya Wahab.

Orang Pakistan itu sambil membenahkan kainnya yang kedodoran, mengangguk-angguk laksana burung kaka tua.

Wahab juga mengangguk tapi tidak seperti kaka tua. Ia berjalan tetapi senantiasa berhenti sebentar melihat orang-orang yang berkelompok-kelompok memperhatikan dia. Perasaan malu kepada diri dan benci kepada mereka timbul dengan sempoyong begitu saja ke hatinya, tetapi sekali lagi ia tertegun melihat seorang tukang jahit Sutan Sinaro datang menghampirinya dan seakan mau memeluknya.

"Engku Wahab!" teriak Sutan Sinaro. Tetapi Wahab mengangguk dengan dingin sekali, sehingga Sutan Sinaro menjadi heran, karena orang yang ditegurnya itu dahulu adalah sahabat baiknya yang sering mengupahkan pakaian kepadanya menjelang lebaran dan main kartu sekali sebulan di rumahnya sambil menghirup hidangan bandrek Betawi.

Wahab benci melihat pandangan penegur-penegurnya, karena pandangan mereka seolah-olah pandangan yang penuh keajaiban melihat mayat yang hidup kembali.

Dengan sebuah becak ia menuju ke sebuah hotel. — Hotel "Kesuma".

Hotel itu adalah sebuah hotel bertingkat kepunyaan Ali Hilabi yang dikenalnya dahulu seorang anak kecil yang dengan rajinnya menunggangi sebuah gerobak kambing mengunjal kelapa dari Gunung Kunyit. Sekarang pemuda itu telah makmur dengan sewa hotel yang termahal di jalan Gudang Garam itu.

Sore itu dia duduk-duduk di teras hotel sambil menghirup kopi hitam.

Tiba-tiba saja ada seorang yang langsung menarik kursi duduk di hadapannya sehingga ia terkejut.

Orang itu ketawa.

Orang itu adalah kapten kapal Berek Kandilla.

"Saya, Berek Kandilla, tadi pagi, sudah lupa?"

"Belum," jawab Wahab dingin.

"Maaf, saya suka campur urusan orang. Saudara kelihatan susah, lebih baik minum bier, atau kita bertanding tidak pakai gelas?"

Wahab cuma menantangnya dengan sikap tidak suka kepada orang yang mengajaknya bicara.

"Saya mendapat cilaka, Bung," kata Berek Kandilla kemudian.

"Sudah lima kali kapal saya bocor sekarang bocor besar. Tetapi Farreik, persetan sama dia, malam ini kita tidak perlu susah, muatan dibongkar, itu kapal sudah ditambal, dan besok pagi saya berangkat dengan kapal setengah bocor. Tetapi mana penompang-penompang bisa tau? Cuma kapten, (ditunjuknya bulu dadanya), ya, cuma kapten punya tanggung jawab," dan setelah itu dia berteriak bier. Dia panggil pelayan hotel dan dia pesan sepuluh botol bier.

"Saya tidak ikut minum," kata Wahab.

"Hoho, tidak apa," kata kapten itu ketawa keras kemudian, dan ketika sisa ketawanya masih tinggal sedikit, ia berkata dengan lucu, "Kalau bung tidak mau bertanding dengan Berek Kandilla maka Berek Kandilla akan bertanding dengan Berek Kandilla sendiri."

Sementara pelayan hotel belum datang membawa sepuluh botol bier. Berek Kandilla bertanya kepada Wahab, 'Tinggal di Tanjung karang? Kota Bumi, Tataan, atau Kota Agung? Tentu istri saudara sudah rindu menanti'."

Wahab menelan ludahnya dan nafasnya terasa sesak.

"Jangan marah," kata Berek Kandilla, "Coba taksir berapa umur saya? Enam puluh tahun tetapi saya masih muda. Ini karena saya punya semboyan; Hai, Berek Kandilla, kamu adalah keturunan Kandilla, kamu harus hidup senang di mana saja. Waktu susah, juga harus senang, waktu berdosa, juga harus senang, waktu mati, juga harus senang. Itulah kata-kata saya punya mama yang sudah tua, sekarang dia punya umur kira-kira seratus. Hoho, mama saya sudah tua. Lebih tua dari umur kota ini.

Sepuluh botol bier tersusun di meja, tetapi Berek Kandilla berkata juga.

"Saya membosankan, karena itu saya lebih suka di laut daripada di darat. Orang di darat sibuk, tidak suka bicara, tetapi saya banyak bicara."

Ia mulai membuka tutup botol lain menungkupkan gelas di alas meja, tanda gelas itu tidak diperlukan. Dan dia mulai minum dari mulut botol. Pada botol ke dua, kapten kapal membikin sebuah demonstrasi minum: Ia minum pada mulut botol tanpa memegang botol samasekali, tetapi bier itu masuk lehernya dengan teratur.

Beberapa orang hotel melihat padanya, dan dengan senyum ramah, kapten kapal itu berkata kepada orang-orang yang tak dikenalnya itu, "Boleh lihat, tidak boleh bayar!"

Wahab masuk kamar ketika kapten itu menarok botol ke sepuluh dalam keadaan kosong. Kemudian ia melihat kapten itu masih duduk dengan mata mengantuk, ketika ia ke luar kamar dalam pakaian piyama.

Wahab berdiri di depan pagar teras.

Kota kecil di bawahnya kelihatan terang benderang oleh lampu-lampu yang menyala. Dalam gemerlapan lampu di bawah itu, Wahab seakan bisa mengenal tiap nama jalan, tiap nama orang yang pernah dikenalnya, dan tiap peristiwa yang pernah dia alami.

Kembali matanya ditolehkannya ke arah kapten yang sedang terbahak-bahak itu. Lambang kegembiraan hidup! pikirnya, tetapi kemudian ia berkata: Lambang kebohongan kepada diri sendiri, tentang dukacita yang disembunyikan!

Ia kembali memusatkan pandang pada kota kecil Teluk betung digenangi cahaya lampu- lampu itu....

Lihat selanjutnya, klik disini.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)