Dosa Kita Semua - Part XIV

0
Part - 14

Madikin menjawab pertanyaan penuh minta itu dengan bahasa sederhana, "Aku yang salah, karena kau kutampari saban hari."
"Suramah membikin cerita yang bukan-bukan tentang Wahab, sehingga aku benci kepadanya dan aku kembali kepadamu!"
Madikin berdiri, ditariknya lengan istrinya. "Mari kita pulang. Sekiranya Wahab berani membikin kerecokan, aku tak segan-segan untuk mencabut golok."
Romlah terdiam mendengar ancaman itu. Katanya setelah ia mengais-ngaiskan ilalang tanggul yang tumbuh di pematang.
"Wahab mungkin juga berbuat demikian. Kalian sama-sama lelaki, memang, kutahu, laki-laki kita lekas naik darah untuk mempertahankan kehormatan dan haknya. Tetapi apa yang harus kuperbuat bila hal itu terjadi?"
"Siapa yang hidup, panggilkan saja ke polisi untuk ditangkap."
"Anak-anak bagaimana?" tanya Romlah.
Mendengar ini Madikin terdiam. Ia tahu, dalam perut wanita itu sedang mengeram benih manusia yang bakal turun di bumi.
Madikin masih terdiam sambil berjalan dengan agak membungkuk meniti pematang. Di depannya terbentang pekarangan luas dengan kebun-kebun sawo dan nanas memagari.
Di rumah, segalanya bertumpu pada suatu tanggung jawab.
Anak-anak, hari depan, dan harga diri. Jika yang tiga ini dibiarkan untuk ditelan orang lain begitu saja, laki-laki kami tidak segan untuk mati.
"Sekiranya. timbul yang tidak kita kehendaki, itu bukan karena aku berkepala batu atau berlagak berani. Itu karena kau hakku, harga diriku dan masa depanku, Romlah. Untuk anak-anak itu aku bertahan."
Mereka telah memasuki pagar pekarangan rumah mereka.
Di dahan-dahan pohon sawo kalong-kalong bergantungan dan terbang merecah udara melawan angin.
Angin yang sejuk berpiuh ke dalam tubuh kedua orang itu, sepasang manusia yang telah rukun kembali untuk menghadapi hari depannya.
Mereka masuk.
Di dalam ruang tengah masih terasa bau malam. Madikin memegang bahu istrinya, tangannya membuka dua buah peniti pada dada pcrempuan itu.
Kemudian mereka memasuki kamar mereka.
Dan tidur di tempat tidur mereka.
8
DARI BERANDA di mana Suramah sedang duduk memandangi jalan Lebak Budi di depannya, dilihatnya sepoi angin pagi mengayun-ayunkan daun-daun ketela pohon dan jagung dan bunga-bunga. Beberapakali perempuan muda itu menguap sebab mengantuk. Semalaman ia tak bisa tidur karena telah ikut terlibat dalam peristiwa ayah tirinya dan ibunya sendiri!
Pikirnya: Sebenarnya aku tidaklah berdosa, ayah tiriku Wahab yang berdosa. Dia seorang lelaki yang tidak bertanggungjawab, meninggalkan anak bini dua tahun tanpa kabar berita. Dan jika akhirnya aku mengambil jalan yang paling gampang untuk merujukkan ibuku dengan ayahku, itu bukan karena aku benar-benar mengkhianati ayah tiriku Wahab, tetapi karena desakan hidup: Kami perlu makan, kami perlu kehidupan ini.
Angin masih sepoi mengayun-ayunkan dedaunan dan bunga-bunga di luar.
Suaminya, Mutalib belum juga selesai mandi. Pikirnya: Kalau suamiku pergi juga menurutkan kehendak pamannya, si Wahab biang keladi itu,— itu tandanya ia lebih mementingkan pamannya dari aku, istrinya! Tetapi tembang gamelan pada hari pengantinnya dulu menyelusup ke sukmanya ketika ia merasa benci itu. Ia ingat bagaimana indahnya malam pengantin itu!
Terdengar batuk suaminya. Lagu gamelan malam pengantin lenyap.
Suaminya telah selesai mandi.
Ia menoleh ke arah lorong pintu masuk, benar, suaminya telah selesai mandi. Kemudian dalam dadanya mengembang kebanggaan: Suaminya lelaki hebat. Ia bekerja dengan giat di bengkelnya.
Terdengar tapak sepatu suaminya. Hatinya kaget.
"Kak Talib mau ke mana?"
"Bagaimanapun juga soal ini mesti diselesaikan," jawab Mutalib.
"Tapi pamanmu orang sombong, kepala batu dan tidak bertanggungjawab. Dan kau tidak menepati janjimu semalam membikin dia ngoceh."
"Biarlah dia ngoceh sendiri asal soalnya selesai. Ini karena aku terlibat," Mutalib sempat berdiri sesaat ketika itu, dan dia memandangi istrinya dengan pandangan meminta. Pada saat itu ia merasa berdiri di sebuah simpang jalan yang riuh dan hampir-hampir ia terkejut ketika istrinya berkata.
"Kalau Kak Talib mau mengurus pamanmu, uruslah. Aku minta dipulangi kepada ibuku lebih dulu."
Mutalib menghirup nafas menahan hatinya.
"Kenapa kau sampai begitu?"
"Dalam soal ini, aku berdiri di pihak ibuku. Ibuku tak boleh lagi dirarnpas dari tangan ayahku, oleh si Wahab tak bertanggung jawab itu. Aku hormat pada lelaki yang bertanggungjawab. Lelaki yang cinta kepada istrinya dengan sepenuh hati, dan bukan kepada yang meninggalkan istrinya untuk kepentingan orang lain," Suramah segera masuk lorong dengan perutnya yang berat dengan kandungan enam bulan itu lalu melemparkan badannya ke tempat tidur. O, sakitnya, sakitnya dirasakan perutnya, tetapi lebih lagi sakit hatinya.
Air mata perempuan muda itu menyebak di matanya, dadanya dirasakan sesak sekali.
"Kita jangan kalap menghadapi soal-soal apapun," kata Mutalib di pintu. Suramah tahu bahwa suaminya sedang berdiri di depan pintu kamar mereka, ya, kamar inilah dahulu tempat ia menyerahkan masa perawannya untuk menjadi ibu.
"Pergilah. Tak perlu Kak Talib urus resep dokter ke apotik."
Ujung kalimat itu memedihi hati Mutalib.
Ia tetap tegak berdiri di ambang pintu dengan tidak sepatah kata keluar dari bibirnya. Kecuali Suramah yang tetap muntah-muntah dengan kata-katanya.
"Antara kita, habis di sini saja. Memang aku telah membohongi ibuku. Aku katakan om Wahab bermain-main dengan bini orang sebenarnya tidak. Bahkan kukatakan ...," ia tidak mengatakan kata-kata itu, karena kata-kata yang akan dikatakannya akan membikin Mutalib marah atau cemburu: Ia mengatakan kepada ibunya dahulu, bahwa Wahab, ayahtirinya, pernah memegang buah dadanya! Sekalipun, hal itu tak pernah terjadi.
"Apa yang kau katakan lagi pada ibumu?" tanya Mutalib.
"Tidak apa-apa. Sudah lampau. Pergilah! Pergilah Kak Talib kepada pamanmu yang sial itu! Terkutuklah kalian laki-laki, kalian yang tidak memikirkan perasaan istri!"
Sekalipun perutnya dirasanya berat, ia cobakan juga dengan sekuat tenaganya untuk meloncat dari tempat tidur dan mendorong tubuh suaminya, sehingga Mutalib terloncat ke luar kamar. Pintu segera ditutupnya dan dikuncinya kuat-kuat. Ia tetap tersandar pada pintu kamarnya sambil tersedu dengan dahsyatnya, dan ia berkata sepatah dua kata yang tak berarti untuk didengar tetapi memedihkan untuk dirasakan sendiri.
Baca selengkapnya, klik disini.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)