Dosa Kita Semua - Part XV

0
Part - 15

Waktu itu, Mutalib masih berdiri di depan pintu.
"Suramah," katanya.
"Pergilah!"
"Dengar dulu. Aku pergi sebentar saja. Kau baik-baik saja di rumah ya?"
"Pergilah! Kau lebih baik mengurus orang tua bangka yang mau mati, daripada anak dalam kandunganku yang mau jadi orang nanti!"
"Soalnya," kata Mutalib pelahan, "kau bukan melarang aku pergi. Kau takut menghadapi soal yang nyata ini, kau seolah-olah merasa berdosa menghadapi pamanku."
Suramah terdiam. Matanya mendelik membenarkan tuduhan itu. Ya, ya, aku merasa berdosa menghadapi soal-soal yang tak disangka ini.
"Aku akan mati hari ini, Kak Talib."
Mutalib mencoba tersenyum, sekalipun senyumnya takkan tampak oleh Suramah.
"Tidurlah sementara. Selesai soal ini, aku akan ke apotik mengambil obatmu. Tidurlah sementara."
"Aku akan tidur selama-lamanya," jawab Suramah mengancam.
Mutalib tahu, itu hanya ancaman wanita hamil belaka.
Pelan-pelan ia langkahkan kaki menuju beranda, menuju jalan Lebak Budi, menuju segala macam keriuhan jalan-jalan raya, menuju ke hotel tempat pamannya.
***
Mungkin karena didesak oleh harga dirinya yang dirasanya ambruk ketika itu. Wahab melihat kepada Berek Kandilla dengan mata mendelik, melihat berapi-api kepada Mutalib keponakannya, lalu nyomproti, "Istriku, istriku sendiri, telah kau gadaikan!" Ia melihat kepada Berek Kandilla, malu tak terkira, kemudian ketawa.
Berek Kandilla menyambut ketawa itu.
Tetapi Mutalib, sambil menyusun botol-botol bier di atas meja di depannya, dan tidak ketawa berkata sungguh-sungguh.
"Saya tak mau ikut campur dalam urusan rumah tangga paman dengan soal-soal Bu Romlah," ia mencoba berdiri, tetapi lengannya disambar oleh Wahab.
"Nanti dulu, nanti dulu," sambil ketawa, "kenapa kau yang jadi ketakutan? Tadi memang aku membentak-bentakmu, Talib, tetapi itu karena aku tahu harga diri! Aku akan rebut apa yang bisa kurebut dan aku memang tidak butuh bantuan kau. Kau boleh pulang masuk bengkel cari duit, sekarang. Sekarang juga!"
Talib berdiri dengan hati gemetar. Kegentaran itu timbul bukan sebab takut pada kesaksian yang bakal terjadi, tetapi sesuatu meluap-luap di dadanya ketika itu sedang ia tak kuasa berbuat apa-apa. Pada saat itu melintaslah sesaat wajah Suramah, kata-katanya yang terakhir tentang tanggung jawab lelaki, sehingga meluncur pula, dari bibir Mutalib suara.
"Hidup ini bukan perhitungan harga diri saja. Tetapi juga tanggung jawab paman!"
Wahab berdiri dengan gerak gagap. Ia sudah seperti seorang gila yang tidak seimbang lagi, sedang Berek Kandilla cuma menontoni saja.
Mata Mutalib melirik kepada kapten kapal itu sebentar.
Kemudian mata itu berpapasan dengan pamannya sendiri.
Wahab nyengir sebentar.
"Apa katamu tadi? Tanggung jawab?"
"Ya! Anak-anak itu ... anak paman sendiri."
Wahab terdiam sebentar seperti disambar oleh tangan-tangan yang lebih kuasa, tetapi sebentar saja, karena sebentar kemudian ia ketawa lagi, ketawa yang abnormal.
"Hohooo! Maksudmu, dengan demikian aku akan tetap merahasiakan kepada anak-anak itu, bahwa aku ini benar-benar sudah mati? Itu cuma angan-angan seorang gila saja, yang melepaskan haknya sebagai bapak. Kalau kau sekali waktu menjadi bapak, kau akan rasakan bagaimana bapak ingin merebut anaknya ...."
Segera dipotong oleh Mutalib.
"Setelah dua tahun mereka hampir kelaparan dengan tidak kabar berita, tanpa pertanggungan jawab dari bapaknya sendiri."
"Diam kau!" bentak Wahab tersinggung.
Wahab segera mementalkan pandangannya ke arah Berek Kandilla, dan dalam wajah Berek Kandilla yang tenang biasa seperti lautan dalam tak terduga. Wahab tidak bisa mendapatkan sepotong lumut pengharapan pun!
Laki-laki itu linglung menghadapi harga dirinya kini apalagi setelah ia dengar dekak-dekak tapak sepatu Mutalib, keponakannya yang patuh dahulu, menuruni tangga hotel.
Kepala Wahab seperti diberati oleh sesuatu kekuasaan, sehingga ia berkata dengan tunduk, tidak kepada Kandilla, tidak kepada dirinya, tidak kepada siapa-siapa,
"Akhirnya hilang kekuasaan dan hargaku."
"Jangan ambil pusing," kata Berek Kandilla tiba-tiba.
Kekuasaan yang lenyap seketika dari hati Wahab ketika itu seperti datang kembali dan ini tampak pada matanya yang gencar memancar-mancar.
"Kenapa?"
"Akhirnya saudara akan memilih laut! Di sana saudara akan memiliki sebuah kekuasaan. Hidup ini jangan dipandang sulit. Seperti kata nenek moyang saya, mimumlah anggur banyak-banyak kau akan mabuk, itulah hidup. Ha-hah! Saya sudah kenyang dengan segala peristiwa-peristiwa semacam saudara, tetapi saya tidak sebingung saudara. Ambil jalan yang gampang: Selesaikan semua soal antara lelaki. Anak tadi — siapa namanya? Ha, si Mutalib tadi benar, dia benar. Anak-anak adalah hari depan. Bahagialah orang yang punya anak."
Wahab seperti orang ketagihan mendekati Berek Kandilla seperti seorang pecandu tenung menghadapi dukunnya.
"Apa yang akan saya perbuat?"
"Perempuan itu tak usah diambil, selesaikan soal-soal itu tidak dengan perempuan tetapi antara lelaki dengan lelaki!" Untuk pertama kali, setelah tadi luluh tenggelam, mata Wahab bernyala membersit seperti akan menerkam apa yang bisa diterkamnya.
Ketika itu Berek Kandilla melihat kepada jamnya.
"Sudah jam sepuluh," katanya sambil mengulurkan tangan.
"Tuan mau ke mana?"
"Berlayar! Apalagi? Berlayar itu indah, tidak ikut campur dengan orang-orang lain. Kalau butuh perempuan, cari saja. He, dengar kata-kataku: Kalau mau makan daging mengapa kita harus membeli seekor sapi?"
"Tidak," kata Wahab agak gementar. "Saya tidak mau makan daging, tapi saya mau sapinya!"
"Tidak praktis. Jadilah manusia praktist"
Ketika dilepasnya jabat tangan kapten kapal itu. Wahab merasa tangan kapten itu dingin. Dua kali dibolak-balikkannya pandang ke arah kapten itu.
"Kapten punya anak?"
Kapten kapal itu ketawa terbahak-bahak. "Hoho! Punya! Punya! Sembilan!"
"Sembilan?" seru Wahab terkejut.
Diperhatikannya langkah kapten yang mulai goyang ke arah bar lalu kembali ke kamarnya. Dalam kepala Wahab waktu itu tertumbuk cuma pada satu tujuan: Ke Pringombo, merebut apa yang bisa direbut: harga diri, hidup praktis dan matanya kelihatan liar seperti seekor harimau lapar.

Baca selanjutnya, klik disini.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)