Dosa Kita Semua - Part XX

0
Part - 20

"Barusan saja kami mendapat kabar buruk. Kapalnya melanggar karang."
Dan sahabatnya menambahkan,"Bayangkan oleh Bung! Berapa lautan besar sudah dilaluinya. Tetapi kapalnya tenggelam ketika keluar dari pelabuhan."
"Dia sendiri bagaimana?"
"Tak ada yang meninggal kecuali dia," kata sahabat itu dengan lega.
"Dia mati?"
"Ya."
Ketika sahabat itu akan mengakhiri cakapnya, tiba-tiba ia memulai lagi dengan pertanyaan,
"Kau kenal dengan dia, Hab?"
"Aku sehotel dengan dia!" jawab Wahab.
"Sayang," kata sahabat itu, "baru beberapa hari yang lalu dia masih bercerita bagaimana supaya bisa punya anak. Kelihatannya dia seorang tua yang kecewa tetapi tidak bisa mengatasi kekecewaannya. Dia punya banyak istri, tapi tak satu yang tahan lama. Semua berakhir dengan cerai, cerai dan cerai! Nah, selamat sore, saya diburu waktu," lalu pergi.
Nah, selamat sore, saya diburu waktu, itulah bahasa sehari-hari pada zaman kini. Manusia berkejar-kejaran dengan waktu, sehingga banyak yang tidak punya waktu lagi untuk menoleh ke belakang atau melihat jauh ke depan. Abad ini telah ditandai dengan ciri perburuannya bagai orang memburu serigala di tengah rimba yang ramai dengan binatang-binatang buas.
Wahab lama tercenung di depan maskapai pelayaran itu.
Kemudian ia membalik, berjalan lagi menuju hotel, dengan berbagai pikiran. Dihitungnya hari-hari yang telah dilaluinya selama menginjak kota kecil ini. Pikirnya. kota kecil ini terlalu banyak memberi pelajaran baginya. Pikirnya, kota kecil ini terlalu abadi untuk merenung sesaat, menoleh ke belakang sebentar untuk memandang jauh ke depan. Dalam berjalan kaki itu terbayang satu-satu olehnya orang-orang yang pernah bertemu dan yang bertemu untuk berpisah selama-lamanya. Alangkah pendeknya waktu! Hanya dalam beberapa hari, tidak, sebenarnya kita tak bisa menghitung, pikirnya, hanya beberapa detik.barangkali nasib manusia dirobah oleh keadaan yang tidak dikirakannya lebih dahulu.
Tetapi dengan perhitungan itu, sebuah lagu menyeru-nyeru di dadanya. Lagu tembang tukang becak yang mengutip syair Ronggowarsito: Kewaspadaan yang mungkin menyelamatkan manusia dari ombang-ambing keadaan.
Di hotel didapatinya kopor. Ya, itulah hartanya, sebuah kopor dengan isi oleh-oleh untuk anak istrinya. Tapi yang tidak bisa diberikannya oleh suatu keadaan yang cukup memisahkan nurani manusia itu karena waktu yang dua tahun saja.
11
DEMI ANAK-ANAK, katanya dalam hati, demi anak-anak sekali ini aku tidak menjadi pahlawan dalam hidupku. Benarkah seperti dikatakan ahli-ahli kejiwaan, seperti dibacanya di buku-buku, umur tiga puluh lima adalah titik menentukan apakah manusia itu akan sukses sama sekali atau jatuh sama sekali? Tidak tidak, aku tidak percaya pada ahli-ahli itu, aku juga tidak percaya pada buku-buku, karena nasib manusia tidak ditentukan oleh dalil-dalil buku belaka. Ada suatu kekuatan lain di luar teori-teori itu: semangat untuk menundukkan hidup dalam genggaman tangan. Selama ini aku bekerja, tapi aku belum bekerja dengan baik.
Demi hari depan mereka, anak-anakku yang belum boleh dilukai oleh pertarungan perseorangan manusia aku takkan menjadi seorang penggugat yang bernafsu. Kalau mereka besar toch mereka akan memilih: Ibunyakah atau diriku. Dan itu pun untuk beberapa tahun: sampai yang lelaki dapat bini, dan yang perempuan dapat suami. Dan tanggung jawab. Ah, itu soal lain. Aku akan kirim uang kepada keponakanku untuk membelanjai mereka, itu salah satu dari pertanggungan jawab!
Tapi bagaimana dengan pertumbuhan mereka sebagai seorang manusia? Sekiranya mereka tahu bahwa aku masih hidup. Ya, jika mereka anggap aku telah mati, itu takkan berpengaruh, paling-paling mereka cuma akan menghadapi kenyataan berbapak tiri itu? Ah, itu akan kuserahkan kepada mereka. Mereka sendiri pun suatu kali akan memilih. Hidup, senantiasa akan memilih!
Dan jika pilihan mereka menumpahkan kesalahan kepadaku sebagai bapak yang tak bertanggungjawab dari suatu keluarga, akan kuterima kutuk itu dengan baik, karena itu adalah benar. Jika mereka mau maafkan diriku, itu suatu kurnia, karena mereka tahu, mereka ada karena darah dagingku juga!
Wahab meninggalkan hotel setelah mengambil keputusan pasti.
Dia berjalan menuruni tangga hotel dengan sebuah kopor berisi oleh-oleh yang tak jadi disampaikannya sendiri kepada putra-putranya!
Kemudian dengan taksi ia melalui jalan mendaki menuju Tanjung karang dengan maksud baik untuk menemui keponakannya.
Di depan Kantor PLN dia suruh taksi berhenti. Ia menghadap ke sebelah timur, di mana ia langsung membaca huruf-huruf yang megah;
USAHA LAS & BESI DAN AKI
"SELALU JAYA"
Selalu jaya, pikir Wahab dalam hati menimbuni kegagalannya yang telah diimpit oleh kejayaan yang akan dilalui selalu oleh sang keponakan. Beberapa orang pekerja sedang bekerja seperti pekerja-pekerja lainnya: keringat, daki, semuanya hasil yang diperas untuk mengisi kebutuhan hidup.
Ia memasuki perusahaan yang selalu jaya itu dengan hati yang mengaku kalah. Tapi ia tidak melihat Mutalib, keponakannya.
Ia berdiri di bawah papan nama. Seorang pekerja mendatangi,
"Mau ketemu siapa, Pak?"
Ia terkejut, merasa ditanyai kegagalannya. "Oh, tidak, tidak." jawabnya lekas-lekas.
"Pak Mutalib?" tanya pekerja itu.
"Ya, saya mau ketemu Pak Mutalib, keponakan saya."
Bibir pekerja yang menghitam kena gemuk minyak, hampir bergerak akan menyatakan sesuatu, tapi yang dikatakannya adalah,
"Dia di rumah sakit menemui Ibu Suramah ,.."
"Istrinya?"
"Ya. Ibu Suramah istrinya. Sedang payah di rumah sakit."
"Rumah sakit Penengahan?" tanya Wahab gugup.
"Ya, rumah sakit Penengahan."
Segumpal rasa terkejut mengempal di hati Wahab mendengar itu. Ia minta permisi dengan keburu, lalu memanggil sebuah taksi yang lewat. Taksi itu sudah penuh, dipanggilnya sebuah taksi lagi.
Kali ini taksi memberikan tempat padanya.
Di atas taksi dalam sesaat ia teringat bagaimana Suramah dahulu, tahun 1949, ditemuinya sebagai gadis kecil enam tahun, yang hampir tersesat dibawa ibunya. O, cepatnya waktu! Cepatnya manusia jadi dewasa. Cepatnya seorang wanita untuk menjadi seorang istri!
Suramah kawin dengan Mutalib! Apa hubungannya dengan rumah sakit! Kecelakaan, oh, tidak, tentu sedang diperiksa.
Mungkin Suramah akan jadi ibu.
Sesungguhnyalah Wahab tak tahu apa yang telah terjadi. Ketika ia sedang melamun di atas taksi itu, seorang wanita di rumah sakit Penengahan sedang bergulat dengan maut, dikelilingi dokter-dokter yang mencurahkan tenaga kemanusiaan untuk menyelamatkan seorang manusia yang sedang sekarat.
Mutalib ketika itu sedang berada di depan pintu zaal. Ia berdiri lagi. Dia katakan kepada seorang mantri juru rawat bahwa dia telah menelpon berkali-kali dengan interlokal ke Pringsewu, untuk mengabarkan kepada mertuanya tentang Suramah,
"Apakah mertua saya sudah datang?" tanya Mutalib.
Tapi Mutalib mendapatkan mantri juru rawat yang sombong. Dengan luka yang tersayat sebuah ucapan dilemparkan Mutalib kepada petugas kesehatan itu, "Setan lu!"
Seorang suster keluar dari zaal.
"Bagaimana, suster?"
Suster itu terdiam. Sekonyong Mutalib meloncat seperti akan menerkam suster itu, "Bagaimana suster? Bagaimana suster?"
Seorang dokter berdiri di pintu.
"Bagaimana dokter? Bagaimana istri saya dokter?"
Dokter itu terdiam agak lama.
"Tak dapat ditolong?"
Dokter itu mendekati Mutalib. Bahu lelaki itu dipegangnya, tapi Mutalib tidak merasakan pegangan itu lagi. Ia tak merasakan segala apa yang bisa dicapainya dengan perasaan. Dalam genggaman tangannya sebuah kertas kumal yang ditemukan suster di kantong Suramah dan diserahkan kepadanya terjatuh di lantai.
Surat itu agaknya sebuah surat yang tak jadi diposkan. "Akhirnya Kak Talib lebih mementingkan pamanmu daripada diriku. Seorang perempuan, siapa pun perempuan itu, tidak sudi bila dia merasa diabaikan oleh suaminya. Baik ia ibuku, diriku, atau seorang Putri Raja sekalipun. Aku tidak sudi diabaikan. Obatku ke apotik sudah dua hari kau lalaikan. Aku pergi. Pergi kepada ibuku. Kita berpisah. Ceraikan aku secara sah!"
Mutalib memungut surat itu ketika matanya yang seperti mencari barang hilang berjalan mengikuti jumlah tegel-legel lantai lorong rumah sakit. surat itu.
Ia terduduk di kursi tunggu. Matanya tak ada air mata. Tapi di hatinya sedang mengalir sebuah genangan laut airmata seorang suami yang menyesal sangat. Bila matanya diangkatnya, di antara kekaburan pandang, ia melihat ada seorang laki-laki datang membawa kopor. Ya, ya, lalu ia melihat pamannya sendiri.
Ia memandang saja dengan tenang kepada lelaki itu sekalipun ia tahu, lelaki itu adalah pamannya sendiri, yang pernah mengajarnya untuk jadi manusia dewasa.
Langkah-langkah tertegun berhenti di sudut lorong.
Wahab maklum, ada yang terjadi.
Mutalib memandang saja kepada pamannya. Wahab akan membisikkan kata-kata, tapi ia amat kaget, ketika Mutalib melemparkan segumpal kertas-kertas kepadanya.
Ia ambil kertas itu. Ia buka gulungannya. Ia baca. Ia lipat kertas itu. Ditaruhnya di saku. Dipandangnya Mutalib dengan pandangan maaf yang sangat.
"Suramah telah tidak ada," kata Mutalib pelahan.
"Jangan lama-lama berdiri di situ, Paman," sambungnya dengan suara mengapung.
"Boleh aku melihatnya?" tanya Wahab.
Seorang suster mempcrsilahkan menunggu mayat akan dibawa ke kamar mati.
"Saya yang memeliharanya waktu kecil," gugat Wahab merasakan haknya.
"Cepat-cepatlah pulang, Paman. Bu Romlah sebentar lagi ke sini." kata Mutalib. Sekali lagi paman dan keponakan bertemu pandang. Kekaguman Wahab timbul. Airmata tidak tampak pada mata Mutalib, sekalipun ia tahu, seluruh paru-paru, seluruh daging dan darah keponakannya ketika itu penuh dengan airmata sejati.
Ketika ia melangkah akan pergi, ia berkata pelahan kepada ponakannya.
"Tabahlah dalam menerima setiap kesusahan," lalu ia pergi meninggalkan Rumah sakit itu.
Ketika itu Romlah, Madikin dan anak-anak mereka — dan anak-anak ini adalah putra-putra darah daging Wahab — sedang di atas sado menuju arah Rumah Sakit Penengahan. Wahab tepat berdiri di depan pintu gerbang rumah sakit sedang menawar becak. Ia naik becak.
Sado itu sedang menuju rumah sakit.
Becak itu sedang keluar dari jurusan rumah sakit.
Becak dan sado sebenarnya saling berpapasan.
Yang dalam sado sedang diburu oleh harapan bahwa yang dituju semoga masih hidup. Yang di becak sedang digugat oleh dosa-dosanya. Dua pihak mengisi kendaraan masing-masing itu tak saling bertemu pandang, tak saling dipertemukan.
Anak-anak itu tertawa-tawa di dalam sado. Mereka tetap bergembira karena mereka adalah anak-anak. Mereka pada suatu kali akan merasakan bagaimana arti kesusahan.
Dan becak yang ditumpangi Wahab meluncur menuju keriuhan kota, pada saat penumpang-penumpang yang dalam sado turun menuju pekarangan Rumah Sakit dengan masih memiliki pengharapan, sekiranya yang akan mereka dapatkan akan masih punya kekuatan untuk menerima kedatangan mereka.
Tetapi tidak. Tentu saja tidak.

Capek ya bacanya..??? Maaf ya... Terima kasih dah mau baca cerpen gak guna ni.
jangan pernah bosen baca ya..

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)