Dosa Kita Semua - Part XIX

0
Part - 19

"Bagaimana?" tanya Wahab, "apakah kau datang ke sini tidak membikin suamimu mengawasimu?"
"Hampir buyar," ulangnya.
"Bercerai?" Wahab merasa pertanyaannya terlanjur, tetapi itu lebih baik, pikirnya. (Yang dipikirnya baik bukanlah perceraian itu, tetapi pertanyaan itu).
"Ya, mungkin bercerai. Kalau dia mata gelap," kata Sumiwi hancur. Ketika itu paras wanita itu seperti tak punya kewibawaan lagi, sekalipun andaikata beberapa kilo permata bertatah di kepalanya sebagai mahkota wanita.
"Tadi malam dia menuduh aku yang tidak-tidak. Kemarin siang dia seakan mengutuki aku, seakan-akan akulah yang mendorong dia untuk melakukan semuanya itu."
Wahab agak terlonjak, tetapi hatinyalah yang terlonjak. Dia duduk seperti tak dilonjaki oleh suatu apa.
Wanita itu kini memandangnya dengan pandangan pengemis terhormat.
"Kau punya kawan yang kira-kira bisa menyelamatkan suamiku?"
"Soal apa?"
"Ah," seru wanita itu lagi seperti menyerukan hari depannya yang akan ditimpa malapetaka.
"Minumlah," kata Wahab menawari, "supaya hilang gugupmu. Perempuan itu minum. Zuursak es bisa mendinginkan suasana. Dilihatnya permata-permata yang tergantung di dadanya dan tangan halusnya meraba yang di dada, katanya, "Aku tidak minta ini semuanya kepada Syamsuddin, suamiku. Tetapi dalam keadaan kalut begitu mencari alasan yang demikian. Dia yang bodoh. Kenapa lari ke sini? Apa polisi Jakarta tidak terlepas dari polisi-polisi di sini? Dia yang bodoh! Dia katakan, "aku tak mau ikut tanggung jawab pada soal manipulasi ini, kau yang menganjurkannya. Sum!" katanya, Aku? Pikirku. Aku cuma perempuan. Kami hanya menuntut kepada suami apabila suami sanggup. Kalau suami sanggup punya mobil, kenapa kami harus naik becak? Bagaimana pikiranmu?" tanyanya kemudian, seakan minta pertanggung jawab pula.
Wahab terdiam.
"Aku akan diceraikannya! Alangkah gampangnya!" perempuan itu seperti melakukan protes hebat dan tak lama kemudian protesnya minta diakui, "Bagaimana, Hab, salahkah aku?"
"Setidak-tidaknya," kata Wahab agak bimbang, "kau ikut juga bersalah. Sebab ini semacam kejahatan sosial. Tapi, aku melihat jalan."
Dengan tergesa perempuan itu seakan ingin "membeli" jalan itu dengan segala kemampuannya, dan melonjak bertanya,
"Jalan? Apa?"
"Jalan satu-satunya yaitu kembali ke Jakarta dan menunggu CPM datang menjemput suamimu untuk dibawa ke rumah tahanan."
Sumiwi seperti merasa tertumbuk pada beton dinding jalanan yang ditunjukkan oleh Wahab dan setelah ia menghela nafasnya seperti kuda betina menghela dokar, ia berkata dengan tenang tetapi hatinya goyang.
"Apa pengertianmu tentang tanggung jawab, he?"
"Tiap tanggung jawab punya pengertian sendiri-sendiri. Besar kecilnya, baik-buruknya itu tergantung pada orang yang harus mempertanggung jawabkan," Wahab mengambil gelas, lalu menghirup zuursak. Es memang dingin sekali.
"Semua lelaki berusaha untuk menghindarkan tanggung jawab," kata Sumiwi.
"Lelaki mana? Lelaki yang tak bertanggung jawab yang selalu tak berani memikulnya. Seperti suamimu itu, sewaktu dia mengeruk uang, tidak perduli hasil keringat siapa pun, pada saat itu, dia cuma bertanggung jawab pada dirinya sendiri, dengan untung-untungan. Lalu kepadamu tentu kuberikan advis yang untung-untungan pula, untuk mengurangi lamanya vonis hakim daripada kalian diburu-buru."
Sumiwi melihat hari depannya suram. Hari depan akan selalu suram bila manusia tahu pada kesalahannya dan tidak tahu bagaimana memperbaiki kesalahannya itu.
"Memang aku yang salah. Kekayaan kami terlalu menyolok memang dibanding dengan kekayaan orang-orang yang berdiam di sekitar kami. Kalau aku dahulu mengawasi dia, agar lebih hati-hati dan aku bisa menyembunyikan apa yang ...."
Segera Wahab memotong, "Mana bisa jadi. Perumpamaan kau tadi benar, kalau sanggup naik sedan, kenapa harus naik becak? Dan kau sanggup, dan kau bangga dengan itu, dan kau membanggakannya pula kepada yang lain. Hanya penjara ...."
"Jangan sebut rumah terkutuk itu lagi. Aku tahu sekarang mengapa Syamsuddin mau cepat-cepat menceraikan aku. Dia mau lepas sendiri, mau bebas sendiri, mungkin dengan demikian dia bisa lari ke luar negeri dan hidup dengan deposit-deposit yang dia punyai di bank-bank luar negeri. Memang, aku tahu sekarang."
Perempuan itu menoleh kepada Wahab tanpa memandang dengan pandangan pengemis terhormat lagi. Kilauan permata di seluruh tubuhnya bercahaya dengan cahaya meriah.
"Kenapa aku harus minta tolong sama orang? Aku, istrinya sendiri, akan dijebloskannya ke penjara! Dan dia mau enak-enakan di luar negeri dengan si Amoi atau si Grace atau siapa saja yang bisa dibelinya dengan sisa uang depositnya! Terkutuk! terkutuk."
Wahab tidak ikut mengutuk.
"Itulah tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab sosial! Aku telah mempraktekkannya selama dua tahun di Jakarta. Sehingga istriku, anak-anakku, mengira aku telah mati! Waktu dua tahun di penjara cukup untuk mempelajari tanggung jawab.
Sumiwi kaget mendengar pengakuan itu, sehingga kekagetan itu diimbuhi oleh kalungnya yang terlonjak dari leher melemparkan kilau!
"Aku ke Ibukota dengan maksud untuk mencari sesuatu untuk membahagiakan istriku, dengan mengorbankan kebahagiaan orang banyak. Aku takkan mengulangi yang demikian untuk kedua kalinya! Baru beberapa jam yang lalu aku dihadapkan dengan kenyataan, bahwa selain dua tahun penjara, aku harus menebus yang lebih berat; aku dibuang oleh orang yang kucintai, istriku, anak-anakku, mungkin sepuluh, limabelas tahun atau selama-lamanya!"
Sumiwi berdiri dengan tidak terharu banyak-banyak berkata,
"Terimakasih karena aku diajari dan dikhotbahi tentang moral."
"Nanti dulu! Ya, moral! Tepat! Aku hampir gila pada waktu belum ketemu dengan kata-kata itu. Moral disadari ketika orang harus melawan moral itu!" seru Wahab bersemangat seperti gaung pendeta atau khotib di rumah-rumah suci.
Tapi perempuan itu telah pergi dengan mobilnya yang distirnya sendiri! Ia berjalan melalui jalan-jalan raya dengan kecepatan sekian kilometer per jam, tetapi waktu berjalan lebih cepat lagi, untuk menyeret ia melarikan hari depannya, di mana tidak akan dicatat oleh sejarah karena dia sendiri pun tidak memerlukan sejarah sebagai tempat belajar agar manusia tidak mengulangi kesalahannya untuk kedua kalinya.
***
Wahab masuk ke kamarnya lalu keluar lagi dan pergi membayar minuman di ruang bar. Ia sendiri, yang tahu pada kemuraman hari ini telah nremutuskan untuk meninggalkan kota yang membekas sejak masa mudanya ini. Hatinya telah memilih kota yang lebih keras, yaitu Jakarta, di mana orang bukan saja berkelahi dengan debu dan bus atau bemo atau manusia-manusia yang lunak bagai agar-agar atau rakus bagai serigala, tetapi juga ia akan berhadapan langsung dengan gelintiran yang lain yang mandi di air kali yang coklat atau tidur di bawah jembatan, atau, mendengar nafas tukang becak yang merintih mendorong becak dengan dua kakinya!
Ia pergi ke Gudang Agen.
Sore itu angin kencang sekali, dan di depan maskapai pelayaran ia berpapasan dengan sahabat lamanya. Orang itu tidak lupa kepadanya, dan menanyakan apa kabar anak istrinya, dan Wahab juga menanyakan kepada sahabatnya itu sudah punya anak berapa, dan sahabatnya menjawab sudah punya lima, dan Wahab menanyakan apakah sudah dijual tiket sore untuk ke Jakarta.
Tiba-tiba ia ingat dengan Berek Kandilla.
"Kau kenal dengan Berek Kandilla?" tanya Wahab.
"Kenal."
"Dia sudah berlayar?"

Baca selanjutnya, klik disini.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)