Dosa Kita Semua - Part XVIII

0
Part - 18

Pada saat itu ia ingat kata-kata keponakannya: tanggung jawab.
Kemudian dilihatnya gerombolan orang-orang itu tidak mengikuti Madikin yang berlari seperti kijang datang menghampirinya.
"Tidak apa-apa," kata Madikin kemudian.
"Saya kalah, Mas Madikin," kata Wahab kemudian lalu pergi.
"Mas tidak kalah, menurut dongeng orang yang bisa menaklukkan nafsu tamaknya tidak kalah, Wahab. Orang yang mundur untuk suatu tanggung jawab tidak kalah, Mas," tetapi langkah tergesa Wahab menuruni jalan desa dan hilang ditelan bukit, lenyap ditelan alam.
Madikin berdiri di atas tanah yang menguapkan sinar keras matahari, lalu memegang cangkulnya, lalu melihat ke arah barat;
Di sana, orang-orang desa yang tidak mengerti sedang menanti dia, dia — Madikin — salah seorang dari mereka yang banyak itu.
Pada siang garang itu, Mutalib sedang mundar mandir di depan zaal Rumah Sakit Umum Penengahan, Tanjung karang, menanti keputusan nyawa istrinya. Dan di dalam ruang para dokter sedang mengerubung untult menyelamatkan nyawa Suramah.
Seorang juru rawat keluar. Mutalib memburu seperti akan menangkapnya.
"Bagaimana suster?" tanya Mutalib.
"Berdoalah."
"Anak saya?"
Suster itu tak menjawab karena ia sedang diburu oleh waktu:
Dunia, selamanya, diburu oleh waktu. Sedetik dibagi sepuluh, sepersepuluh detik dibagi seratus, manusia takkan mengingkari betapa menentukan waktu!
Seorang dokter keluar dari ruangan di mana nyawa istrinya sedang ditentukan. Mutalib seakan mau menangkapnya.
"Bagaimana dokter?"
"Dia memerlukan banyak darah."
"Keguguran?" tanya Mutalib gugup.
Dokter itu tidak menjawab tetapi memandangnya dengan pandangan yang pasti,
"Katakan dokter"
"Kami sedang menyelamatkan nyawa Nyonya Suramah," katanya, lalu masuk lagi. Rupanya dokter itu sedang menanti kedatangan suster itu, sebab ketika suster yang tadi datang membawa WBSltOml%%% dokter itu ikut masuk kembali bersama suster.
Ya, keguguran, pikir Mutalib.
Seorang suster yang lain keluar lagi, Mutalib cuma melihat kepada suster itu dengan pandangan yang hampa.
Wahab berjalan sendirian dengan kekalutan pikiran yang merasa dikalahkan. Ia kadang-kadang ingat lagi apa yang dikatakan oleh Madikin, tetapi scgera dihancurkan seperti dinamit menghancurkan batu alami, aku memang kalah!
Ia tidak langsung ke hotelnya. Ia berjalan lagi, berjalan lagi, dengan kedua tangan masuk ke kantong dengan kaca mata hitam tergantung di tulang hidung.
Sekonyong ia telah berjalan melalui muka Bank Exkompto, dan ia tahu, tak jauh dan situ adalah rumahnya. Jalan-jalan sepi.
Biasanya pada jam menjelang sore itu orang-orang tepi pantai kota ini suka tidur daripada dijerang oleh kepanasan hari.
Kini ia melalui jalan menuju rumahnya.
Ia tentu akan membaca tulisan RUMAH INI AKAN DIJUAL.
Seakan-akan langkahnya sudah diaturnya, sehingga tepat di depan rumahnya itu, Wahab berhenti. Ia memandang ke pintu rumah itu. Tidak ada tulisan itu lagi! Tiada! Dan, kemudian, ia kembali ke hotel!
Di pintu masuk pelayan hotel mengatakan, sedang menanti seorang perempuan
EPISODE EMPAT
10
"AKU TELAH MENUNGGUMU sejak jam duabelas," kata perempuan itu pada Wahab dengan wajah dukacita.
"Sumiwi?" tanya Wahab.
"Ya."
Wahab kembali memperhatikan wajah perempuan itu sebaik-baiknya, di mana beberapa tahun yang lampau ia pernah merasa terpukau olehnya. Tetapi panggilan kedewasaan tidak memungkinkan bagi orang untuk menjolok kembali buah-buahan manis masa lalu. Apalagi bagi seorang yang sedang digugat oleh arti tanggung jawab dalam menghadapi hidup.
Dan Sumiwi sendiri — si perempuan itu — dengan muka yang sukar diteliti lagi karena banyaknya perhiasan yang tergantung mulai dari rambut sampai pada lengan, serta, bagai bintang gemintang berkilau, tergantung perhiasan emas yang mengebat lehernya, dan bagai bintang-bintang jasa di dadanya bertatahkan perhiasan bros.
Kedua manusia ini sama terpaku.
"Wahab," kata Sumiwi kemudian membuka suasana itu.
Wahab mengangkat kepala untuk menunjukkan perhatian.
"Kau mau menolong aku, Wahab?"
Wahab duduk, kemudian kepada pelayan dimintanya dua gelas kosong dan dua botol zuursak.
"Soal apa?"
"Ah," seru perempuan itu mengeluh, "payah aku mencari kau. Kemarin aku ketemu dengan keponakanmu, dan dia mengatakan kau nginap di hotel ini. Beberapa hari yang lalu aku ketemu pula dengan kau di restoran PEH CIN," dia mengambil udara sebentar sambil memperhatikan, apakah Wahab menaruh perhatian kepadanya, dan, "adakah kau terima surat? Yang kutaruh di bawah vaas?"
Wahab mengangguk.
"Kuharap kau tak tersinggung membacanya."
Wahab mengangguk.
Sumiwi, sambil sedikit mengolengkan kepalanya, sekalipun tidak dengan maksud agar permata- permata hiasannya jadi berkilau karena olengnya itu, namun permata-permata itu berkilau sendiri, kemudian berkata.
"Kau tahu, orang-orang berumur banyak yang cemburu buta.
Suamiku demikian pula. Itu makanya kutulis surat, dan janganlah salah sangka dengan surat itu."
Wanita itu mengambil nafasnya sebentar, tergesa-gesa sekali, seolah-olah nafas itu akan pergi begitu saja.
"Minumlah zuursak itu dulu," kata Wahab.
Sumiwi ditolong oleh Wahab menuangkan zuursak dan botol ke gelas. Kesejukan es melalui lehernya yang bertatahkan kalung permata itu meredakan kegugupannya


Baca selanjutnya, klik disini.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)