Dosa Kita Semua - Part XVII

0
Part - 17

"Siapa istri Mas?" tanya Wahab, lalu berbahasa kota.
"Maaf, kalau salah." Madikin, sekalipun dongkolnya mulai nanjak, hanya menjawab letih.
"Istri saya adalah istri yang pertama kali saya perawani dahulu."
Kini Wahablah yang harus menelan dongkol sebesar biji jengkol di lehernya.
"Romlah? "tanya Wahab.
"Ya."
"Romlah setahu saya belum saya ceraikan!" kata Wahab.
"Sama saja, Mas Wahab. Waktu dia Mas ambil dulu juga belum saya ceraikan! Itulah keisengan kita kaum lelaki memakai perempuan seenaknya!" Madikin ketawa dengan maksud untuk memahitkan suasana. Telapak tangannya meraba arit yang tersangkut di pinggang.
"Mas, jangan pegang arit itu dulu," kata Wahab berlagak takut, sekalipun sebenarnya ia takut.
"Sungguh, saya tidak akan mempergunakan kekerasan! Saya datang mengambil jalan memutus ini, dan tidak langsung mencari rumah kalian. Seorang anak kecil telah memberikan petunjuk. Saya sengaja tidak akan bikin ramai-ramai, malahan saya tak berusaha untuk menculik anak-anak saya," Wahab menelan nafasnya setelah memuntahkan apa yang menyenak-nyenak di hatinya.
Tapi Madikin tetap tegang berdiri seperti patung, karena benar-benar terdesak oleh perkataan Wahab itu.
Namun menjawab juga, "Saya cuma akan menjaga diri, kalau-kalau diserang lebih dahulu. Kita sama-sama lelaki Mas Wahab.
Lelaki itu mulai kecil, kalau yang dimintanya tidak dapat, tentu akan memukul duluan. "Saya tahu Mas akan memukul duluan, dan karena itu saya bertahan. Tetapi yang akan Mas minta tidak akan saya berikan."
Wahab tersenyum — senyum perdagangan.
Dan Madikin tahu, lalu ia melemparkan senyum desanya; senyum kampungan.
Ia tahu sudah, bahwa lelaki yang di hadapannya pasti akan menyerang dia, sekalipun dia juga tahu, bahwa belum tentu pula yang diserang akan kalah dalam setiap serangan mana pun.
Wahab juga melihat bagaimana lelaki itu menanti, karena itu dia berkata.
"Mas seorang lelaki?"
"Tentu. Saya juga seorang bapak."
"Saya tidak akan mengalah dalam soal ini. Saya tidak ingin berkelahi dengan arit atau tinju, tetapi saya akan membawanya ke pengadilan."
"Undang-undang!" kata Madikin.
"Ya, undang-undang."
"Bukankah undang-undang itu dibikin oleh manusia? Gusti Allah juga membikin undang-undang. Saya bukan orang agama, tapi saya tahu, dalam surat nikah dikatakan, bahwa laki-laki yang meninggalkan istrinya lebih dari enam bulan itu berarti dia sudah menceraikannya, karena tak diberi makan dan minum. Itu undang-undang Allah. Ini saya pelajari dari sekh Pringsewu ketika saya mengadu tentang Romlah yang telah Mas rebut dari saya. Saya merasa dipukul oleh jawabannya itu, undang-undang Allah, Mas. Dan saya tak mau direbut dua kalinya."
Wahab terdiam.
Madikin juga tidak bicara lagi.
"Saya bukan orang berani, Mas," kata Madikin kemudian dengan suara pelahan.
"Saya juga bukan orang berani," jawab Wahab tetapi tetap dengan lagak seorang pemberani.
"Keberanian saya sudah saya serahkan waktu perang dengan Belanda dahulu."
"Saya juga begitu," kata Madikin membalas, "keberanian saya juga sudah saya keluarkan waktu saya jadi jagoan judi. Tetapi sekarang tidak. Saya tahu bahwa dengan keberanian saja tanpa tanggung jawab — seperti kisah-kisah yang kita lihat di wayang-wayang — akan membikin dunia ini hancur. Mas pernah nonton wayang? Pernahkah melihat perang Bharatayuda? Berapa banyak orang yang berani, tetapi akhirnya musnah semua. Saya tak mau jadi begitu. Saya telah jadi bapak, kita punya anak-anak. Saya telah memelihara anak-anak Mas Wahab baik-baik selama ini ...seperti anak saya sendiri."
Wahab termenung.
"Saya ke sini untuk mengambilnya."
"Mengambil siapa?" tanya Madikin.
"Mengambil yang saya punyai!"
Madikin memandang mata Wahab dengan pandangan menantang benar-benar, suaranya menantang, "Tidak bisa, Mas!"
Wahab berusaha mengembalikan keberaniannya dahulu, di mana di medan pertempuran ia telah membunuh musuh. Ya, aku telah membunuh musuh dengan berani dan tidak takut mati.
Tetapi aku belum pernah berkelahi dengan musuh satu lawan satu. Aku telah menembak Nika. Dari jauh. Dan tidak berhadap-hadapan. Dan itu dulu. Dulu. Ketika aku merasa diriku sendiri. Ketika aku belum punya tanggung jawab. Dan, dan, ketika aku masih muda.
Laki-laki di hadapanku ini barangkali sudah sering berhadapan dengan lawannya dengan bermuka-muka seperti kami sekarang.
Tetapi anehnya. Madikin berkata.
"Lebih baik kita jangan berkelahi. Sungguh, saya bukan orang berani," namun ketika itu hati Madikin telah bulat menjadi satu, telah kuat dan bagai alam, ia takkan binasa dalam satu kali pukul untuk menghancurkannya.
"Mas," kata Madikin kemudian, suara yang hilang disapu angin pesawahan yang tenang.
Wahab mengangkat dagunya tinggi-tinggi.
"Kasihan anak-anak itu, kalau di antara kita ada yang mati. Saya belum tentu menang, dan juga mas belum tentu menang."
Benar, pikir Wahab, benar.
Kesadaran laki-laki yang sclama ini menilai manusia dengan kedudukan dan uang saja itu tiba-tiba datang. Ketenangan alam sekeliling tetah menerkamnya lebih dari terkaman Madikin. Sekali pun matahari membakar, namun masih ada bayu yang bertiup sayu.
Pada saat itu ia merasakan apa arti lelaki dan apa pula arti lelaki yang bertanggungjawab.
"Ya, anak-anak," kata Wahab kemudian.
"Anak-anak yang akan menjadi orang-orang di hari depan," kata Madikin.
"Aku ingat pada seorang anak bocah yang kuberi uang untuk mengantar aku ke sini. Dia tidak terlalu loba seperti kita yang telah besar. Dia antarkan aku ke sini dengan niatanku yang buruk, dengan tidak perasangka sedikit juga, bahwa jika sekiranya aku menang, anggota desanya hilang seorang," Wahab memakai kacamata hitamnya, kemudian akan pergi.
Tetapi ketika ia akan melangkah ia tiba-tiba melihat sebondongan orang-orang desa bergerombol menuju ke arah pematang tempat ia tegak. Di antara mereka di depan sekali adalah Romlah.
Wahab melihat kepada Madikin.
"Akan kalian bunuh aku?" tanyanya dengan geram.
"Kami bukan pembunuh-pembunuh. Kami cuma petani."
"Kenapa mereka membawa arit?" tanya Wahab.
Madikin memandang sebentar kepada Wahab dan lalu meloncati tebing-tebing pematang seperti loncatan kijang, dan berlari menghampiri gerombolan orang-orang desa itu. Dari jauh Wahab melihat bagaimana Madikin dengan tangannya — seperti menjelaskan sesuatu — dan ia berpikir ketika itu: Inilah hidup. Inilah hidup sejati di antara orang-orang banyak. Tak seorang pun bisa menghancurkan orang banyak dengan seorang diri.


Baca selanjutnya, klik disini.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)