Dosa Kita Semua - Part XVI

0
Part - 16

Di jalan menuju ke stasiun bis, kelihatan Suramah dengan perut besar seperti perempuan yang tidak waras, ditelan oleh keramaian kota Tanjungkarang. Di stasiun bus Teluk Betung, Wahab sedang mencari-cari mobil taksi yang mau dicarter ke Pringsewu.
Dan di depan apotik Coa, Mutalib sedang memberikan uang penebus resep kepada jurubayar. Terdengar suara gegaran mesin bayar berdencing.
Ketika itu pula terdengar — jauh dari apotik itu dalam tujuh lorong berliku, pekikan Suramah nnenghindarkan sebuah mobil sedan yang dikendarai sepasang Orang Kaya Baru. Perempuan itu tercelentang menjelang sedan itu menabraknya, dan ia tidak luka sama sekali, dan berada tepat di bawah kolong mobil Opel Kapitan itu.
Orang-orang berkerubung sambil memekik dan menggumam.
Mereka mendengungkan lagu kematian.
Pada saat itu, Mutalib merasakan denyutan di jantungnya, tetapi ia terus jalan menuju ke rumahnya di Jalan Lebak Budi.
Dan di rumahnya, ia tak melihat ada satu orang pun.
Gugupnya timbul.
9
PANGGANG NYALA MATAHARi bagai akan mengupas kulit petani yang sedang menggali saluran air di desa Pringombo.
Madikin — salah seorang dari mereka, memercikkan keringatnya dari keningnya. Kemudian ia lihat kawan-kawannya yang lain sudah ada pula yang duduk di tanggul dan bertebar menjatuhkan badan. Ada pula yang sedang mencuci muka di pancuran.
"Mulih yok.'*), terdengar suara dengan anggukan letih.
"Yok!"
"Yok-yok-yok!"
Petani itu tanpa memungut suara satu persatu meninggalkan sawah. Ketika Ngadimin, petani terakhir akan pulang. Madikin mencegahnya.
"Aku ada perlu. Beras sekarang mahal, padahal kita sendiri yang macul tanah ini!"
"Aku sendiri juga tak punya garam. Tunggu sebentar, aku mau bicara padamu!"
Ngadimin mengambil tempat duduk di sebelah Madikin, sambil mengeluarkan rokok kawungnya. Bau rokok kawung ini benar-benar menelan bau-bau yang lain di sekitar itu.
*) Mulih = Pulang
"Kowe kelihatannya susah belakangan ini," kata Ngadiman.
"Ya."
"Soal istrimu?"
"Ya!"
"Aku tahu dari mertuamu."
"Bayangkan oleh kau, untuk merebut kembali Romlah dari tangan jahanam itu, aku telah bekerja keras sejak tahun 1950. Apakah ini akan kukembalikan begitu saja?"
Ngadimin mengeluarkan aritnya sambil berkata mengacung-acungkan benda tajam itu.
"Bukankah kowe lelaki? Keluarkan ususnya, biar dia tahu bagaimana kita menghargai bini kita!"
"Tapi anak-anak, bagaimana? Aku sayang sama anak-anak Wahab jahanam itu, seperti aku sayang sama anak-anakku sendiri. Aku sekarang tahu bagaimana rasanya memiliki, karena itu aku tahu juga bagaimana harus mempertahankannya."
Ngadimin berdiri tak acuh, tetapi berkata sungguh-sungguh akhirnya.
"Jangan susah! Bertindaklah seperti Arjuna melawan musuh, bukankah begitu dalam cerita wayang?"
Madikin terdiam mendengar peringatan itu, ia melihat ke sekeliling sambil menghirup betapa sedap tanah, bau rumput, bau air, bau udara — dan antara semua itu ia pun bisa menghirup dalam angan-angannya betapa bau keringat Romlah, istrinya! O, tidak, tidak, semua ini harus kupertahankan.
Ketika dilihatnya lagi ke kiri, tidak kelihatan Ngadimin, dan ia telah lenyap ditelan unggukan jerami.
Madikin kembali berdiri, memandang alam sekeliling yang kukuh tak terhancurkan dalam sekali pukul. Saat itu ia pun akan memiliki hati yang sekuat alam, tetapi kemudian kepalanya digerayangi oleh pikiran lain-lain: Mati, penjara. luka, anak-anak yang jadi yatim piatu, hari depannya yang hilang. Mereka semuanya sudah masuk sekolah kecuali yang terkecil. Dan yang sedang dalam kandungan, apakah ia takkan melihat wajah bapaknya ketika telah besar? Ia tahu benar bagaimana seorang anak yang tidak berbapak ketika menjelang dewasa: Kalau tidak menjadi tukang recok dan tukang bikin ribut, ia akan jadi anak yang dungu. Ya, ia tahu, karena anak yang dibayangkannya itu adalah dirinya sendiri.
Tidak, pikirnya, aku tidak akan merusak apa yang telah rusak.
Diangkatnya cangkul, dan ia mulai kembali menggali sendirian.Gumpalan-gumpalan urat dan ketat-ketat kulitnya kelihatan membungkal menjadi satu: seorang lclaki, yang keras dan kuat, yang melawan kehidupan dengan berkelahi melawan alam, tetapi adalah sahabat baik dari alam sendiri.
Mata pacul berkilau disambit ganggang cahaya siang yang bocor meriah. Keringatnya berhiliran seperti bocor pula dari rongga-rongga kulitnya, ketika dengan terkejut ia dengar suara.
"Mas!"
Ia membalik dengan cepat dengan cangkul tetap terpegang.
Wahab berdiri di sebuah tanggul yang lain.
Wahab waktu itu berpikir: kau jangan melawan dengan sinar matamu itu. Aku juga punya hak dalam sinar yang terpancar itu.
"Bukankah Mas adalah Madikin?" Madikin mengangguk. Ia tidak bergerak sedikit pun ketika itu.
"Saya masih ingat rupa Mas," katanya.
Madikin terus teringat pula ketika pada tahun 1955 ia datang ke Teluk betung, ingin melihat anak perawannya Suramah dahulu, dan diterima dengan baik oleh Wahab yang kini berdiri dihadapannya. Tetapi sekalipun ia diterima dengan baik, namun permintaannya untuk mengambil Romlah kembali tidak diterima dengan baik oleh lelaki ini ketika itu!
Ia harus berbuat tepa selira sckarang, seperti diajarkan oleh nenek moyangnya yang dalam bahasa moderen kini disebut take dan give, sekalipun bahasa moderen itu tak diketahui oleh Madikin secemil pun. Sekaya-kaya bahasa, ia akan dikalahkan oleh perbuatan manusia.
"Silahkan. Mas Wahab mau apa?"
Wahab melihat sekeliling seperti seorang mandor melihat hasil kerja kuli-kulinya.
"Mas Madikin sendiri yang macul nih?" tanya Wahab.
"Bersama-sama."
"Enak juga punya hak milik seperti ini," kata Wahab.
"Ya. Ini milik bersama," jawab Madikin.
"Mas Madikin sendiri punya apa?" tanya Wahab.
"Saya cuma punya tenaga. Lain tidak. Ini kepunyaan istri saya, lalu dikerjakan bersama, lalu dibagi dua."

Baca selanjutnya, klik disini.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)